LBH: Aksi Guru Petal Rambut Siswi SMP Lamongan Langgar UU Perlindungan Anak

LBH: Aksi Guru Petal Rambut Siswi SMP Lamongan Langgar UU Perlindungan Anak

Denza Perdana - detikJatim
Rabu, 30 Agu 2023 20:30 WIB
Sekolah di Lamongan yang gurunya sempat cukur rambut siswi gegara tak pakai ciput.
Siswa-siswi di SMPN 1 Sukodadi Lamongan. (Foto: Eko Sudjarwo/File detikJatim)
Surabaya -

Sebanyak 11 siswi berhijab di SMPN 1 Sukodadi Lamongan menjadi korban petal oleh gurunya gegara tidak pakai ciput (dalaman hijab). Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Surabaya turut mengecam aksi pembotakan rambut siswi tersebut.

"YLBHI-LBH Surabaya mengecam keras aksi pembotakan rambut depan belasan siswi kelas IX SMPN 1 Sukodadi Lamongan yang dilakukan oknum guru EN dengan mesin cukur karena tidak memakai ciput," ujar Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya Habibus Shalihin, Rabu (30/8/2023).

Habibus menyoroti sanksi terhadap oknum guru EN yang hanya berupa pembinaan non-job dari Dinas Pendidikan Lamongan dengan cara ditarik ke Diknas dengan status tanpa jabatan dan tidak diperbolehkan mengajar di SMPN 1 Sukodadi hingga waktu yang tidak ditentukan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Namun, hal ini tak menutup kemungkinan EN dapat kembali mengajar di sekolah itu apabila para korban menerima kembali kehadirannya," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima detikJatim.

Mengenai kasus ini, YLBHI-LBH menekankan perlunya pencermatan tentang perwujudan prinsip The Right to Survival and Development atau hak untuk hidup dan berkembang bagi anak.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, hak setiap anak dalam mendapatkan pendidikan termasuk terhindar dari tindak kekerasan fisik maupun psikis yang berpotensi dilakukan oleh elemen-elemen di lingkungan satuan pendidikan. Baik oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, maupun pihak lain.

"Aksi pembotakan terhadap belasan siswi di SMPN 1 Sukodadi Lamongan ini menunjukkan kurangnya upaya perlindungan anak dari kekerasan fisik dan psikis. Padahal seharusnya lingkungan sekolah menjadi ruang aman bagi anak untuk mendapat penikmatan atas hak pendidikan," ujarnya.

Habibus juga menekankan bahwa tindakan guru EN yang secara paksa melakukan aksi pembotakan rambut bagian depan siswi-siswinya termasuk ke dalam bentuk kekerasan. Kasus itu, menurutnya juga mencoreng martabat kemanusiaan anak.

"Bukan tidak mungkin EN telah melanggar Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak," kata Habibus.

Untuk itu YLBHI-LBH Surabaya mendorong pemerintah melakukan tindakan sesuai Pasal 59 UU 35/2014 dalam hal memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis. Salah satunya dengan menegakkan sanksi.

"Sehubungan dengan hal itu maka sanksi yang dapat dikenakan terhadap guru itu mengacu pada Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)," ujarnya.

Pemaksaan pakai ciput dinilai melanggar Permendikbudristek. Baca di halaman selanjutnya.

Di sisi lain, atribut ciput bagi siswi SMP berjilbab tidak termasuk pakaian seragam sekolah bagi Peserta Didik SMP berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 50/2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Siswa SMP.

Karena itu Habibus menilai bahwa pemaksaan penggunaan ciput oleh guru EN juga termasuk kategori tindakan intoleransi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b angka 1 Permendikbudristek 46/2023.

"Karena guru bersangkutan telah memaksa peserta didiknya untuk mengenakan pakaian atau aksesoris yang tidak termasuk seragam sekolah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Habibus.

Atas peristiwa di SMPN 1 Sukodadi, Lamongan tersebut YLBHI-LBH Surabaya menyatakan sejumlah sikap berikut ini.

1. Mendesak Polres Lamongan untuk segara mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku dan memastikan keadilan bagi korban. Tindakan semacam ini tidak hanya merugikan para korban secara fisik dan psikologis, tetapi juga mengancam prinsip-prinsip hak asasi manusia dan perlindungan anak. Perlu ditegaskan pula bahwa tindakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh EN merupakan delik biasa sehingga proses hukum teap dijalankan sebagaimana mestinya.

2. Mendorong sekolah untuk memastikan bahwa setiap siswa-siswi merasa aman dan dihormati dalam lingkungan belajar mereka. Pendidikan bukan hanya tentang pemberian pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan membantu membangun masyarakat yang lebih baik.

3. Mendorong Dinas Pendidikan Lamongan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan mendukung, di mana para siswa merasa dihargai dan dijaga dari segala bentuk ancaman dan kekerasan. Lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan melindungi hak-hak anak.

4. Mendorong seluruh elemen masyarakat untuk lebih peduli dan melindungi hak-hak anak. Anak-anak adalah amanah yang harus dijaga bersama, dan tindakan melanggar hak mereka tidak boleh dibiarkan terjadi dalam masyarakat yang beradab.

Halaman 2 dari 2
(dpe/dte)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads