Sejumlah siswa taman kanak-kanak di Pare, Kediri diajak mewarnai gambar Garuda Pancasila di halaman sekolah pada Kamis (1/6) pagi. Kegiatan itu dilakukan dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni.
Garuda Pancasila. Pemilihan garuda sebagai lambang negara oleh Panitia Lencana Negara bentukan Presiden Pertama RI Soekarno bukan tanpa alasan yang jelas. Pemilihan garuda sebagai lambang negara itu terilhami cerita masa lampau yang menjadi nilai-nilai karakter alam bawah sadar manusia Indonesia.
Tentu saja, kegiatan mewarnai Garuda Pancasila melibatkan para siswa TK Kemala Bhayangkari 43 bertujuan untuk mengenalkan nilai-nilai Pancasila melalui gambar Garuda Pancasila. Harapannya, supaya nilai nasionalisme sebagai Manusia Indonesia itu tertanam sejak dini di dada mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, kisah apa yang mengilhami pemilihan garuda sebagai lambang negara hingga kini dikenal sebagai Garuda Pancasila? Adalah kisah Garudeya, tokoh mitologi yang reliefnya tersebar di banyak candi di Indonesia yang konon menjadi ilham para 'founding father' Indonesia dalam memilih lambang negara.
Femi Eka Rahmawati dalam bukunya berjudul 'Meneroka Garuda Pancasila dari Kisah Garudeya' menyebutkan bahwa relief-relief Garudeya tersebar di banyak candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Relief dan cerita Garudeya itulah yang mengilhami Bung Karno dan Panitia Persiapan Lambang Negara.
Simbol Garuda Pancasila dipilih karena mencerminkan nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila. Pemilihan garuda sebagai lambang negara itu juga menjadi upaya para pendiri bangsa meneruskan tradisi Kerajaan Kahuripan di masa Raja Airlangga yang menggunakan Garudamukha sebagai lambang negara.
"Para founding father bangsa Indonesia termasuk Panitia Lencana Negara bentukan Presiden Soekarno melihat ada kemiripan alur cerita antara sejarah bangsa Indonesia yang baru saja melepaskan diri dari penjajahan bangsa asing dan masih dalam kondisi berhadap-hadapan dengan cengkeraman neokolonialisme dan imperialisme dengan perjuangan sang Garuda sebagai simbol pembebas ibundanya dari perbudakan para naga," demikian tulis Femi dalam buku terbitan UB Press tersebut.
Sumber inspirasi lukisan garuda yang menjadi lambang negara itu termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang ditetapkan tanggal 17 Oktober 1951 dan diundangkan pada tanggal 28 November 1951 (Lembaran Negara II Tahun 1951).
Dijelaskan dalam peraturan itu bahwa lukisan Garuda diambil dari benda peradaban Indonesia, seperti hidup dalam mitologi, simbologi, dan kesusastraan Indonesia, serta tergambar pula pada beberapa candi sejak abad ke-6 sampai abad ke-16 Masehi.
Relief Cerita Garudeya di Candi Kidal Malang paling jelas di antara candi lainnya. Baca di halaman selanjutnya.
Relief Garudeya ini termuat dalam sejumlah candi termasuk di Jawa Timur. Baik di Candi Prambanan, Candi Penataran, Candi Dieng, Candi Mendut, Candi Pawon, serta Candi Kidal di Malang.
Di antara sejumlah relief Garudeya yang ada di sejumlah candi itu, keberadaan simbol Garuda yang telah mendarah daging dalam mitologi bangsa Indonesia itu tergambar dengan sangat jelas pada relief Garudeya di Candi Kidal Malang.
Menurut Femi Eka Rahmawati, Cerita Garudeya yang melakukan pembebasan ibunya dari jerat perbudakan di Candi Kidal Malang jauh lebih jelas terbaca jalan ceritanya daripada cerita Garudeya yang ada di candi lain seperti Candi Sukuh dan Candi Cetho, atau candi-candi lainnya di Indonesia.
"Di Candi Sukuh, kisah Garudeya yang terpahat pada fragmen batu bercampur dengan relief-relief lain yang umumnya berkisah tentang pengruwatan. Sedangkan di Candi Cetho, kisah Garudeya yang mencari Tirta Amerta bukan terpahat di batu namun berupa susunan batu di atas tanah. Sehingga urutan ceritanya tidak muncul secara berurutan dan tidak bisa tertangkap dengan jelas makna ceritanya seperti yang ada di Candi Kidal," ujar Femi.
Menurut Femi, visualisasi relief yang ada di Candi Kidal mempunyai ciri fisik lebih tiga dimensional dengan cerita paling lengkap daripada relief cerita Garuda lain di Indonesia. Cerita ini sudah sangat mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa kuno sebagai cerita Garudeya.
Cerita yang ada di relief itu menjelaskan tentang aksi heroik Sang Garuda dalam membebaskan ibundanya dari perbudakan yang dilakukan oleh ibu tirinya yang merupakan ibu dari para naga. Sang Garuda pun berhasil membawa air kehidupan bernama "Tirta Amerta' sebagai syarat pembebasan ibundanya.
"Menurut kitab Negarakretagama, Candi Kidal adalah tempat pendarmaan Anusapati, Raja Singasari pengganti Ken Arok. Anusapati adalah seorang figur yang sangat mencintai ibundanya dan berupaya sekuat tenaga membebaskan penderitaan batin Ken Dedes dari tekanan mental psikologis yang dilakukan oleh ibu tiri Anusapati, yaitu Ken Umang," kata Femi di bukunya.
Dia melanjutkan bahwa tiga relief utama yang menceritakan kisah Sang Garuda itu dipahatkan di Candi Kidal untuk mengenang karakter Sang Anusapati semasa hidupnya dan memberikan suri teladan bagi generasi penerus Singasari soal pengabdian seorang anak kepada ibundanya.
Bukankah kisah tersebut sangat berkaitan dengan nilai-nilai nasionalisme yang terus ditanamkan dari generasi ke generasi, bahwa sebagai Bangsa Indonesia kita harus memberikan pengabdian kepada Ibu Pertiwi.