Keberadaan makhluk halus menjadi bagian dari mitos yang berkembang menjadi kepercayaan di masyarakat dan tidak jarang menjadi bahan penelitian para antropolog. Salah satu makhluk halus yang pernah diteliti antropolog adalah tuyul.
Antropolog asal Amerika Serikat (AS) Clifford Geertz pernah memasukkan Tuyul sebagai salah satu bagian dari penelitiannya tentang agama masyarakat di Jawa. Kajian antropologi klasik itu tertuang dalam buku berjudul 'Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.'
Dilansir dari detikEdu, Sabtu (6/5/2023), buku Agama Jawa itu lahir dilatarbelakangi enam orang calon PhD dari Harvard University yang dikirim ke Indonesia untuk meneliti berbagai aspek kehidupan masyarakat pada awal 1950-an. Clifford Geertz satu di antara 6 orang ilmuwan itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pemaparannya di bukunya, Geertz berpendapat bahwa sebagian masyarakat Jawa memiliki kepercayaan terhadap makhluk halus. Namun, Geertz tidak terjebak untuk membahas apakah tuyul itu nyata atau sekadar rekaan belaka.
Apa yang lebih membuatnya tertarik adalah fungsi dari kepercayaan tentang tuyul itu sendiri sebagai bagian dari kepercayaan masyarakat yang tinggal di kawasan Mojokuto, yang mana sebenarnya daerah itu di Indonesia tidak pernah ada.
Ya, Geertz menyamarkan nama daerah tempat dirinya melakukan penelitian dengan alasan tertentu. Belakangan baru diketahui bahwa Mojokuto yang dimaksud oleh Geertz adalah sebuah tempat yang berlokasi di Jawa Timur. Tepatnya di Kecamatan Pare, Kediri.
Kembali pada penelitian tentang Tuyul. Geertz menangkap fenomena bahwa masyarakat Jawa mempercayai tiga jenis makhluk halus yang utama. Yakni memedi (secara harfiah berarti tukang menakut-nakuti), lelembut (makhluk halus), dan tuyul.
Mengenai tuyul, antropolog AS tersebut mendefinisikannya sebagai makhluk halus anak-anak (tentu saja bukan manusia). Menurutnya Tuyul tidak mengganggu, menakuti orang, atau membuat orang menjadi sakit.
"Sebaliknya, mereka sangat disenangi manusia, karena membantu manusia menjadi kaya," kata Geertz.
Dalam buku itu Geertz juga menunjukkan bahwa dirinya pernah melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber di Mojokuto atau Pare, Kediri. Salah satu narasumber itu mengatakan kepadanya bahwa orang yang ingin berhubungan dengan Tuyul harus berpuasa dan bersemadi.
Geertz juga mendeskripsikan bagaimana saat itu banyak orang Mojokuto alias Pare yang beranggapan bahwa seseorang perlu membuat semacam perjanjian dengan setan, supaya tuyul mau menerima tawarannya.
Bila kesepakatan itu tercapai, orang itu bisa melihat tuyul hingga selanjutnya bisa mempekerjakan mereka untuk kepentingan dirinya sendiri. Tidak hanya uang, menurut Geertz tuyul juga tak jarang mencuri padi di desa-desa.
"Kalau orang mau kaya, ia bisa menyuruh mereka mencuri uang. Mereka bisa menghilang dan bepergian jauh hanya dalam sekejap mata hingga tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari uang untuk tuannya," tulisnya.
Geertz memang menemukan keberadaan kepercayaan demikian di daerah tempat dirinya melakukan penelitian. Meski begitu dia menyampaikan bahwa dalam penelitiannya tidak ada ajaran mengenai itu secara spesifik.
Antropolog AS itu menegaskan dalam bukunya bahwa pendapat yang dijelaskan terkait tuyul dan kesepakatannya adalah pendapat narasumber sendiri. Menurutnya, pendapat itu secara kasar mirip dengan orang-orang lain tentang makhluk halus.
Mojokuto adalah Kecamatan Pare, Kediri. Baca di halaman selanjutnya.
Mojokuto sebagai lokasi penelitian Clifford Geertz sebenarnya adalah Kecamatan Pare, Kediri. Hal itu pernah dijelaskan Dosen Universitas Indonesia (UI) Amanah Nurish.
Dilansir dari situs resmi IAIN Kediri, Nurish adalah akademisi yang juga penulis buku berjudul 'Agama Jawa: Setengah Abad Pasca-Clifford Geertz'.
Ia membongkar fakta bahwa Mojokuto yang dimaksud Geertz adalah Pare, Kediri dalam acara bedah buku miliknya yang digelar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri pada 25 September 2019.
Saat itu dia menyebutkan soal penamaan Mojokuto atas Pare yang dilakukan Geertz. Menurutnya, beberapa kalangan tidak terima nama Pare diganti dengan Mojokuto karena dinilai membohongi dan menyembunyikan identitas kedaerahan.
Nurish membongkar alasan nama alias Mojokuto itu. Menurutnya, pada 1950-an, kondisi politik Indonesia sedang tidak stabil. Hal itu menjadi alasan mengapa etika menyembunyikan nama daerah dalam konteks penelitian itu sah.
Clifford Geertz, kata Nurish, memakai istilah Mojokuto demi melindungi responden yang ada di daerah Pare. Secara sosiolinguistik Geertz memilih nama Mojokuto yang berasal dari kata 'mojo' yang artinya pahit, dan 'kuto' yang berarti kota. Bisa diartikan bahwa Mojokuto adalah 'kota yang pahit' dan merujuk pada Pare sebagai tumbuhan yang pahit.
Dalam diskusi bedah buku miliknya itu, Nurish juga menceritakan bahwa saat Geertz melakukan perjalanan di Pare, Antropolog asal AS itu sangat terkejut. Ia terkejut karena meskipun Pare atau Mojokuto adalah wilayah kecil yang jauh dari Keraton Yogjakarta dan Solo, tetapi masyarakatnya sudah sangat modern.
Ya, Nurish mengatakan bahwa pada tahun 1950-an masyarakat Mojokuto terhitung modern. Mayoritas penduduknya memang berprofesi sebagai petani, tetapi Geertz mendapati bahwa para petani di Pare tidak buta huruf.