Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi masalah yang banyak ditemui di wilayah Indonesia, terutama ketika musim kemarau berkepanjangan. Pada 2015, seluas 2,6 juta hektar dilalap kebakaran tersebut.
Hal ini kemudian menjadi sorotan Agung Wicaksono SIP MPA PhD, dosen prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Islam Riau (UIR). Ia meneliti topik ini sebagai disertasinya untuk lulus dari Doctoral School of International Relations and Political Science, Corvinus University of Budapest, Hongaria.
Dalam disertasinya yang berjudul "Forging a Fire-Free Future: Examining Collaborative Governance Approaches to Tackle Forest and Land Fires in Indonesia", Agung menelaah dinamika tata kelola lintas pemangku kepentingan untuk memetakan risiko serta dampak karhutla. Bukan hanya berdampak pada lingkungan, karhutla telah menyita kerugian negara dalam jumlah besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu titik penting setelah 2015 adalah dibentuknya Badan Restorasi Gambut (BRG), yang kini menjadi BRGM, sebagai upaya menyelesaikan persoalan di tingkat hulu, yaitu kerusakan ekosistem gambut," jelas Agung dalam keterangan resminya, Minggu (13/4/2025).
Kurangnya Dana Jadi Kendala Penanganan Karhutla di RI
Dalampenelitiannya, mantan Ketua PPI Hongaria (2021) tersebut menemukan sederet tantangan dalam melaksanakan kolaborasi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Salah satunya karena rendahnya kapasitas dan pemahaman para aktor lokal.
Kemudian keuangan untuk mendukung penyelesaian masih terbatas. Lemahnya akuntabilitas dan transparansi juga turut menjadi hambatan.
Menurut Agung tindak korupsi turut menjadi tantangan karena semakin memperumit penanganan karhutla. Hal itu terjadi karena penegakkan hukum yang masih lemah.
Insentif Petani-Sanksi Bisa Jadi Solusi Penanganan Karhutla
Atas dasar tantangan-tantangan di atas, Agung mempunyai lima saran atau rekomendasi tindakan yang bisa dilakukan untuk memperkuat tata kelola kolaboratif dalam penanganan karhutla.
Pertama adalah pemberian insentif kepada petani dan perusahaan. Hal ini guna mendorong praktik pertanian berkelanjutan.
"Insentif dan sanksi harus dirancang secara seimbang agar mendorong perilaku yang berkelanjutan, bukan semata responsif. Kolaborasi hanya akan efektif jika didukung tata kelola yang kuat dan adil," ujar pria 30 tahun tersebut.
Kedua, penerapan sanksi. Setiap pelanggaran terkait upaya penanganan karhutla harus diberi sanksi yang adil dan proporsional.
Ketiga adalah penguatan kelembagaan penegakan hukum dengan peningkatan kapasitas dan transparansi. Keempat perlu adanya konsolidasi regulasi dan tingkat pusat hingga daerah.
Terakhir adalah diadakannya pelatihan teknis bagi aktor yang terlibat. Jika perlu, mereka juga harus diberi apresiasi karena telah berkontribusi aktif dalam penanggulangan bencana.
Di akhir kata, Agung berharap risetnya dapat memberikan dampak dan kontribusi nyata bagi kebijakan publik. Terkhusus untuk menyelesaikan masalah karhutla yang selalu terjadi setiap musim kemarau.
(cyu/faz)