Petugas Pengadilan Negeri Tulungagung mengekseskusi aset tanah milik Pemkab Tulungagung yang disewa puluhan pihak swasta yang sebagian besar menjalankan usaha pertokoan. Eksekusi itu diwarnai isak tangis karyawan toko.
Proses eksekusi tanah seluas 10.450 meter persegi beserta puluhan pertokoan di Jalan KH Agus Salim itu sesuai hasil putusan Mahkamah Agung 2205K/Pdt/2021 yang memenangkan Pemkab Tulungagung.
Sebelum proses eksekusi dilakukan, puluhan karyawan Toko dBelga menggelar upacara perpisahan. Isak tangis karyawan pecah sesaat setelah upacara berakhir. Pihak toko telah melakukan pengosongan beberapa hari menjelang eksekusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Pengadilan Negeri Tulungagung Ricky Ferdinand mengatakan proses eksekusi atau pengosongan paksa ini adalah langkah terakhir yang ditempuh pengadilan, karena pihak penyewa tidak segera mengembalikan aset secara sukarela.
"Peringatan (pengosongan) sudah lama, sejak Bulan Mei. Harusnya saat mereka mendapat salinan putusan MA yang berkekuatan hukum tetap dilaksanakan secara sukarela. Kan, aturannya gitu. Kalau tidak maka akan dipaksa. Seperti ini dipaksa," kata Ricky Ferdinand, Rabu (14/12/2022).
![]() |
Dalam eksekusi ini petugas juru sita pengadilan bersama pemohon eksekusi Pemkab Tulungagung berkeliling ke 50-an pertokoan untuk memastikan bahwa seluruh bangunan telah dikosongkan.
Beberapa barang milik penyewa yang tertinggal di lokasi diangkut paksa petugas untuk dibawa ke tempat penampungan sementara.
Pantauan detikJatim di lapangan, puluhan toko itu rata-rata telah dikosongkan oleh pihak penyewa. Namun ada sebagian yang masih dalam proses pengosongan, termasuk sebuah gereja.
Selama proses eksekusi berlangsung tidak terlihat adanya perlawanan dari pihak penyewa sehingga eksekusi itu berjalan lancar.
"Kami harap hari ini selesai dan dipastikan kosong. Setelah itu akan kami serahkan aset ini ke pemohon eksekusi, yaitu Pemkab Tulungagung," ujarnya.
Perjanjian Pemkab dengan pengembang. Baca di halaman selanjutnya.
Ketua Pengadilan Negeri Tulungagung Ricky Ferdinand menjelaskan bahwa sesuai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang harus dijalankan oleh 36 penyewa yakni menyerahkan objek berupa tanah beserta bangunan serta pembayaran ganti rugi masa sewa.
"Objek tanah beserta bangunan. Bangunan ini bukan objek tetapi menurut perjanjian 181 tahun 1992, antara Pemkab Tulungagung dengan pihak pengembang PT Prima disebutkan ketika masa HGB berakhir. Maka objek dikembalikan ke pihak kesatu dan bangunannya jadi milik pihak ke satu, yakni Pemkab Tulungagung," ujarnya.
Ricky menambahkan untuk putusan kedua berupa ganti rugi masa sewa sebesar Rp 22 miliar belum dilakukan eksekusi. Pihaknya masih menunggu iktikad dari penyewa. Jika penyewa tidak melakukan pembayaran maka aset yang dimiliki akan disita dan dilelang untuk membayar pengganti nilai sewa.
"Termohon eksekusi beda-beda (nilai) uang sewanya tergantung luasan objeknya," jelasnya.
Salah seorang penanggung jawab toko penyewa Handy Hank mengaku akan berusaha menjaga eksistensi tokonya meskipun harus berpindah ke tempat yang lain.
"Sebagai putra daerah masak akan buka di tempat lain. Saya menyemangati (karyawan) sesuai pesan dari papa mertua. Yang mendirikan toko 26 tahun lalu adalah ayah mertua. Kami akan berusaha tetap eksis," kata Handy.
Kasus ini bermula dari pendirian pertokoan di lahan bekas sekolah. Bangunan berstatus hak guna bangunan (HGB) itu berada di atas tanah berstatus hak pengelolaan lahan (HPL).
Setelah 20 berjalan, masa sewa pertokoan itu habis. Pihak penyewa berusaha mengajukan perpanjangan sewa namun ditolak oleh pemerintah.