Kajati Jatim Mia Amiati mengatakan dalam perkara tersebut, negara merugi hingga Rp.11.015.060.000 kala itu. Setelah seluruh bukti dan keterangan cukup, pihaknya menetapkan 2 tersangka, yakni SMT (57) warga Wiyung, Surabaya dan DLL (72) warga Karangpilang, Surabaya.
Mia menuturkan, SMT merupakan Ketua Panitia Pelepasan Tanah Waduk Babatan. Ia melakukannya bersama almarhum GT, mantan Lurah Babatan dan almarhum STN, Sekretaris Kelurahan Babatan. Keduanya menjual secara lelang setengah waduk sisi barat dengan luas mencapai 11.000 m² atau bagian dari Waduk di Jalan Raya Babatan-UNESA, yang merupakan aset Pemkot Surabaya dengan keseluruhan luas 20.200 m².
11.000 m² itu lantas dijual kepada seorang pengusaha properti berinisial AA. Belasan meter persegi tanah itu dihargai Rp 5,5 miliar.
"Pejabat lama mendapat laporan dari Bu Risma yang masih menjadi pejabat Walikota Surabaya saat itu, langsung melakukan penyelidikan cukup lama karena banyak yang perlu didalami dari beberapa aspek. Tapi alhamdulillah, kami sudah bisa menetapkan tersangka," kaya Mia kepada awak media, Senin (12/12/2022).
"Posisinya di sini ada aset Pemkot Surabaya yang sudah dikuasai oleh pihak lain dan pihak lain yang perolehan haknya tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Jadi, ada perbuatan melawan hukum di mana memasukkan dokumen yang dianggap sah dan benar lalu diperjual belikan," lanjutnya.
Selanjutnya, penjualan aset tanah itu dilakukan SMT dengan menggandeng GT dan STN. Salah satunya dengan membuat sejumlah surat keterangan tanah palsu, yakni mencatut nama orang yang sesungguhnya bukan pemilik atau yang berhak.
Dalam surat tersebut, dibuat seakan-akan sebagai pemilik atau yang berhak atas setengah waduk sebelah barat dengan luas 10.100 m² tersebut. Surat keterangan tanah yang dipalsu itu lantas digunakan untuk membuat akta Perjanjian Ikatan Jual Beli dan Surat Kuasa di kantor Notaris-PPAT antara nama orang yang dicatut tersebut sebagai penjual dengan pembelinya.
"Cara penjualannya, SMT dengan beberapa tokoh dari RT. 1 RW. 3 Kelurahan Babatan, tanpa dasar hukum membentuk panitia pelepasan waduk dan menunjuk SMT selaku ketua, lalu bekerjasama dengan almarhum lurah dan sekertaris Kelurahan Babatan dengan membuat surat keterangan tanah yang isinya palsu dengan mencatut orang-orang yang berhak, seolah mereka tidak berhak," ujarnya
"Kemudian, dibuatkan akta perjanjian ada Ikatan Jual Beli antara para tersangka dengan tokoh masyarakat, dengan dasar akte IJB lalu mendaftarkan ke kantor BPN Surabaya. Tahun 2005, terbit 2 sertifikat SHGB dengan nomor 4801 dan 4802," imbuhnya.
Uang hasil penjualan setengah waduk sebelah barat tersebut dibagi-bagikan kepada GT sebesar Rp 275 juta, STN Rp 40 juta, SMT Rp 40 juta. Tak hanya itu, masing-masing Ketua RT juga menerima Rp 10 juta. Sementara, per Kepala Keluarga menerima Rp 2.5 juta.
"Berdasarkan perhitungan sementara dari penyidik pada saat dilaksanakan lelang pada akhir 2003 adalah Rp 505.000 per m². Kemudian dikalikan luas waduk 21.812 m², maka asumsi Kerugian Negara saat itu Rp.11.015.060.000. Sampai saat ini, masih proses penghitungan oleh BPKP," tuturnya.
Usai SMT menjual setengah waduk sisi barat seluas 11.000 m², DLL bersama dengan para tokoh masyarakat terkait membentuk Tim Pengurus Pelepasan Waduk ke-II. Lalu, diketuai oleh DLL dan almarhum Tosan selaku Ketua LKMD. Kemudian, GT dan STN kembali membuat dan menggunakan surat-surat yang berisi sejumlah keterangan dan pernyataan palsu, di antaranya:
- setengah waduk sebelah timur seluas 10.100 m² dulunya merupakan hasil urunan warga RW 01 dan RW 02 Kelurahan Babatan pada tahun 1957-1959 karena butuh tempat minum hewan ternak dan untuk mengairi sawah,
- karena sudah tidak dibutuhkan untuk tempat minum hewan ternak dan sawah dan warga sekitar sudah menjadikan lahan perumahan, warga RW 01 dan RW 02 Kelurahan Babatan meminta Pemkot Surabaya agar waduk tersebut dikembalikan pada warga.
Sontak, permintaan DLL ditanggapi Asisten Tata Praja, almarhum MS. Diantaranya dengan mengirim surat jawaban yang menyatakan Pemkot Surabaya tak keberatan bila warga meminta kembali waduk tersebut dengan surat dari Asisten Tata Praja ditambah dengan surat-surat yang dibuat Ketua LKMD dan Lurah Babatan.
Dari surat itu lah, digunakan untuk membuat Akta Pelepasan Hak Disertai Ganti Kerugian oleh DLL pada pembeli di kantor Notaris/PPAT. Sebagai gantinya, DLL menerima Rp 2 miliar dari Rp 5 miliar yang diperjanjikan. Sementara, Rp 3 miliar digunakan untuk membiayai proses birokrasi pelepasan Waduk yang tengah berlangsung.
Meski begitu, Mia memastikan pihaknya bakal mengusut dugaan tersangka lain yang terlibat di dalamnya. Meski, 2 tersangka yang ada sudah meninggal dunia sekali pun.
"Kami juga berusaha secara riil melakukan upaya paksa dengan memasang plang dan izin dari PN Surabaya dengan diterbitkannya plang sita. Untuk tersangka lain pasti ada, selain 2 almarhum ini, untuk pembeli dan masyarakat yang terlibat masih pendalaman. Alhamdulillah, akan segera kita buktikan," katanya.
Mia menegaskan perkara tersebut masuk dalam kategori mafia tanah. Lantaran, memanfaatkan kekosongan hukum atau menggunakan instrumen perdata yang ada.
"Di sini, mereka juga melakukan gugatan perdata dan dimenangkan oleh pengadilan, lalu melakukan eksekusi secara formil. Tapi, secara materiil, kami buktikan bahwa perbuatan melawan hukum betul-betul terjadi, sehingga nanti akan kami buktikan. Itu (kerugian negara) sedang dihitung sekarang oleh BPKP dan sedang dikonveksi dengan harga yang sekarang, karena pasti berubah angkanya, ini sementara menaksir berdasarkan tempus terjadinya peristiwa pada waktu itu," tutupnya.
(pfr/iwd)