Aktivis Perempuan Buka Suara soal Pelecehan Pemilik Bengkel di Sidoarjo

Aktivis Perempuan Buka Suara soal Pelecehan Pemilik Bengkel di Sidoarjo

Tim detikJatim - detikJatim
Senin, 10 Okt 2022 14:39 WIB
Viral pelecehan di bengkel Sidoarjo
Curhatan korban kekerasan seksual di sebuah bengkel di Sidoarjo yang diunggah di Twitter. (Foto: Tangkapan layar)
Surabaya -

Belakangan ini curhat seorang perempuan korban pelecehan seksual di sebuah bengkel di Sidoarjo menjadi perhatian warganet. Aktivis perempuan mendukung agar korban speak up, tapi mereka diminta lebih berhati-hati di media sosial mengingat adanya ancaman UU ITE yang bisa menjeratnya.

Korban pelecehan seksual di sebuah bengkel di Gedangan, Sidoarjo itu menceritakan bagaimana dirinya menjadi korban pelecehan seksual saat hendak membetulkan rantai motornya yang putus. Dia mengaku diajak berbincang oleh pemilik bengkel seputar hal-hal berbau seksual.

Lantaran merasa tidak nyaman, korban kemudian video call dengan temannya agar terlihat sibuk. Sejatinya korban ingin menangis, tapi dia tak ingin terlihat lemah di depan pelaku. Pria pemilik bengkel itu kemudian nekat mendekati korban, mencolek paha, hingga lengannya beberapa kali dan terus mendekatinya meski sudah berpindah tempat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Usai kejadian itu, korban curhat ke medsos. Ia kisahkan apa yang dia alami dalam sebuah utas atau thread di Twitternya @Nun***. Sayangnya, detikJatim telah mencoba menghubungi pemilik akun twitter itu melalui Direct Message (DM) sejak Kamis (6/10/2022), tapi pemilik akun itu belum merespons.

Kapolsek Gedangan Kompol Samsul Hadi membenarkan adanya kejadian itu. Ia juga mengaku telah mengecek bengkel lokasi pelecehan seksual seperti disebutkan oleh korban. Di sana polisi bertemu dengan pemilik bengkel yang jadi terduga pelaku pelecehan.

ADVERTISEMENT

"Iya benar kejadiannya memang viral, korban curhat di media sosial. Anggota sudah mengecek ke bengkel itu, ditanya-tanyai," ujarnya.

Polisi tidak memproses hukum pemilik bengkel. Samsul beralasan karena korban tidak membuat laporan. Mereka juga sudah berusaha menghubungi korban namun tidak merespons.

"Pihak korban nggak melaporkan. Memang viral. Sudah dihubungi sama polsek tapi dia nggak mau melapor," ungkap Samsul.

Di luar itu, menurut Samsul, terduga pelaku si pemilik bengkel telah berjanji tidak lagi mengulangi hal serupa.

Simalakama korban pelecehan seksual. Enggan melapor polisi tapi terancam UU ITE saat speak up di medsos. Baca halaman selanjutnya.

Dr Dra N K Endah Triwijati, MA Psikolog menanggapi kasus itu. Co Founder Savy Amira Women Crisis Center itu membenarkan bahwa selama ini korban pelecehan seksual justru lebih nyaman speak up atau curhat tentang apa yang dia alami di media sosial daripada melapor ke polisi.

"Tapi apa yang mereka lakukan itu bisa dipahami, ya. Kalau melapor nanti urusane dowo (urusannya panjang), harus ngasih bukti dan lain sebagainya. Artinya sistem pelaporan di kepolisian itu tidak helpfull (menolong) bagi korban," ujarnya kepada detikJatim, Senin (10/10/2022).

Perempuan yang akrab disapa Tiwi itu tidak menyalahkan korban bila pada akhirnya curhat di media sosial. Tapi dia menyarankan mereka agar melapor ke layanan pengaduan yang ada. Apakah itu yang disediakan pemerintah atau di kepolisian.

Sebab, dengan mereka curhat di medsos dengan menyebutkan ciri-ciri maupun atribut yang sangat bisa dikenali dari terduga pelaku maka akan ada bahaya yang mengancam diri mereka sendiri.

Seperti bumerang, para pelaku itu bisa balik melapor ke polisi dengan jeratan Pasal Undang-Undang 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

"Saya melihat karena kepolisian sendiri belum menerapkan UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Masalahnya bagi korban kalau dia nulis-nulis di medsos, saya khawatirnya malah mereka kena ITE. Bahaya sekali buat para korban ini. Karena UU ITE sendiri belum direvisi," ujarnya.

Tiwi menekankan pada keengganan korban untuk melapor atau membuat pengaduan ke layanan pengaduan yang disediakan pemerintah dan memilih curhat di medsos. Artinya, dia melihat para korban ini sebenarnya tidak tahu harus mengadu ke mana.

"Saya sepakat, saat ini orang tidak tahu mesti ke mana buat mengadu. Berarti kan ini perlu dipikirkan tentang layanan pengaduan agar disosialisasikan lebih masif, yoopo carane (gimana caranya). Sehingga para korban akhirnya tahu ke mana harus curhat sekaligus melapor," ujarnya.

Tentu saja, kata dia, penyediaan layanan pengaduan yang bisa dipercaya oleh para korban itu harus dibarengi dengan penerapan UU TPKS dalam setiap lini penanganan kekerasan seksual di dalam negeri. Sehingga para korban tidak lagi curhat di medsos, tapi ke depan mau untuk langsung melapor ke polisi.

Halaman 2 dari 2
(dpe/dte)


Hide Ads