Profesi Pemain Wayang Potehi Jombang Saat Tak Pentas, Buruh Tani Hingga Kuli

Profesi Pemain Wayang Potehi Jombang Saat Tak Pentas, Buruh Tani Hingga Kuli

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Minggu, 12 Jun 2022 22:59 WIB
wayang potehi Jombang
Wayang potehi (Foto: Enggran Eko Budianto)
Jombang -

Wayang potehi di Gudo, Jombang yang notabene kesenian Tionghoa justru mayoritas dimainkan orang Jawa. Profesi mereka beragam saat sepi pementasan. Yaitu buruh tani, juru parkir, kuli panggul dan tukang becak.

Pimpinan Paguyuban Wayang Potehi Fu He An Toni Harsono mengatakan pementasan wayang potehi belakangan ini kian tak menentu. Karena banyak kelenteng yang enggan menggelar pertunjukan kesenian tionghoa tersebut dengan berbagai alasan.

Padahal, pentas wayang potehi diyakini sebagai persembahan untuk dewa. Selain itu, permintaan pementasan yang terus ada bakal membuat kesenian tradisional ini tetap eksis. Karena regenerasi pemain terus berjalan jika kesenian ini dinilai menjanjikan secara finansial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Selama ada yang membayar, main bisa satu bulan-dua bulan di kelenteng. Setelah itu tidak main lagi sehingga tidak bisa ditentukan sebulan main berapa kali," kata Toni kepada wartawan di Museum Wayang Potehi Gudo yang menjadi markas kelompok Fu He An, Jalan Raya Wangkal, Dusun Tukangan, Desa/Kecamatan Gudo, Minggu (12/6/2022).

Oleh sebab itu, lanjut Toni, para pemain wayang potehi kelompok Fu He An terpaksa mencari pekerjaan lain untuk bertahan hidup. Dalang Widodo Santoso (50) misalnya, sehari-hari menjadi buruh tani saat tidak ada pementasan.

ADVERTISEMENT

Slamet (53), pemain tambur atau kendang bekerja sebagai kuli angkut bahan bangunan, Asih Santoso (55), pemain terompet dan tuwaluh menjadi juru parkir, sedangkan Gigih bekerja sebagai tukang becak.

"Jadi, daripada lestari, potehi ini cenderung punahnya. Selama pandemi di Gudo terus saya pentaskan, saya carikan dana supaya tetap pentas di beberapa kelenteng, seperti di Krian dan Kediri. Klenteng yang lain tidak berani. Saya tidak pernah dapat uang dari pementasan, malah sering nomboki," jelasnya.

Widodo belajar menjadi dalang wayang potehi sejak tahun 1990. Saat itu, usianya baru 18 tahun. Tempat tinggalnya di Kelurahan/Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar dekat dengan kelenteng membuatnya sering menonton pertunjukan kesenian Tionghoa tersebut. Sehingga lama-lama ia menyukai wayang potehi.

Pria kelahiran 23 Oktober 1972 ini mulai ikut pementasan wayang potehi tahun 1993. Ia lantas bergabung dengan kelompok Fu He An tahun 2002. Selama sepi pementasan, Widodo mencari nafkah dengan menjadi buruh tani.

"Kalau tidak ada job saya buruh tani, bekerja di sawah orang lain, tidak punya sawah sendiri," terangnya.

Belakangan ini, kata Widodo, permintaan pementasan wayang potehi kian berkurang. Dalam setahun, ia dan teman-temannya di Paguyuban Fu He An pentas hanya dalam 4-6 bulan. Honor yang ia dapatkan untuk sekali pentas Rp 750 ribu di wilayah Jatim dan Rp 1-1,5 juta di luar Jatim.

"Kalau dulu setahun dapat kerja terus dalam 12 bulan. Sekarang ini dalam sebulan tidak tentu, satu tahun kami bisa kerja 4-6 bulan saja," ungkapnya.

Meski begitu, Widodo bakal tetap setia menjadi dalang wayang potehi. Baginya, keterampilan tersebut adalah kesenangan sekaligus panggilan hati untuk melestarikan wayang potehi.

Ia berharap pemerintah ikut andil melestarikan wayang potehi dengan membuat pagelaran kesenian dan budaya di Jombang. Menurutnya, wayang potehi bisa dikolaborasikan dengan kesenian lain, seperti ketoprak dan ludruk.

"Memang pemerintah mendorong untuk cari bibit baru. Setelah ada bibit baru, potehi bisa lestari karena ditanggap untuk pementasan. Mereka bisa menjadi dalang buat apa kalau tidak ada pementasan," tandasnya.




(iwd/iwd)


Hide Ads