Meski kesenian ini milik etnis Tionghoa, wayang potehi di Gudo, Jombang kini mayoritas dimainkan orang Jawa. Salah satunya Widodo Santoso (50) yang akan berpentas di Den Haag, Belanda. Ia belajar menjadi dalang wayang potehi sejak 1990.
Widodo lahir di Kelurahan/Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar 23 Oktober 1972. Tempat tinggal masa kecil dan remajanya dulu dekat dengan kelenteng. Sehingga ia kerap menonton pertunjukan wayang potehi. Terlebih lagi pada masa itu, wayang potehi digandrungi masyarakat.
"Setengah jam sebelum pementasan, orang-orang sudah kumpul semua nonton. Potehi diadakan selama dua bulan, ketemu lagi tahun depan. Karena rumah saya dekat kelenteng, saya setiap hari nonton," kata Widodo kepada wartawan di Museum Potehi Gudo, Jalan Raya Wangkal, Dusun Tukangan, Desa/Kecamatan Gudo, Minggu (12/6/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di usia 18 tahun, Widodo mendekati dalang wayang potehi selama mereka berpentas di kelenteng dekat rumahnya. Ia rela membantu para kru wayang potehi untuk membeli makanan, kopi atau mencarikan jasa cuci baju.
"Begitu akrab, saya ditawari belajar dalang wayang potehi tahun 1990 oleh senior saya Pak Sutarto. Awalnya jadi cantrik potehi tahun 1993," terangnya.
![]() |
Buruh tani warga Desa/Kecamatan Gudo, Jombang ini kerap diajak pentas ke luar Jombang sejak dirinya bisa menjadi dalang wayang potehi. Ia bergabung dengan paguyuban wayang potehi Fu He An sejak 2002. Kelompok kesenian yang dipimpin Toni Harsono itu bermarkas di Museum Potehi Gudo.
"Saya sudah menguasai 20 cerita. Dari dulu sampai sekarang yang paling suka membawakan cerita pahlawan penegak kebenaran pembela dinasti Tang, cerita Sam Kok, dan cerita perjalanan ke barat Sun Go Kong," ungkap Widodo.
Menurut Widodo, saat ini hampir tidak ada warga etnis tionghoa yang menjadi pemain wayang potehi. Menurutnya, dalang maupun pemain instrumen musik tradisional China mayoritas orang Jawa.
"Setelah saya menjadi dalang, sekarang saya pelajari warga keturunan sudah habis. Potehi dimainkan orang-orang Jawa," jelasnya.
Pimpinan Paguyuban Wayang Potehi Fu He An, Toni Harsono membenarkan saat ini justru orang Jawa yang masih konsisten melestarikan kesenian tradisional tionghoa itu.
"Kalau menurut saya potehi ini secara finansial tidak menjanjikan. Orang tionghoa mungkin kalau tidak ada duitnya gak mau," cetusnya.
Sementara orang-orang Jawa yang memainkan wayang potehi, kata Toni, karena kesenangan mereka terhadap kesenian tersebut. Ia bersyukur masih ada warga Jombang yang peduli melestarikan wayang potehi. Terlebih lagi saat ini peran pemerintah sangat minim dalam pelestarian.
"Banyak pemain rumahnya dekat kelenteng. Jadi Awalnya mereka melihat, mencoba main dapat duit, akhirnya senang. Saya terima kasih masih ada yang mau melestarikan," ujarnya.
Jangankan pemerintah, tambah Toni, pengelola kelenteng-kelenteng juga kurang peduli dengan nasib wayang potehi. Banyak dari mereka yang tak lagi menggelar pertunjukan wayang potehi. Padahal, pentas wayang potehi diyakini sebagai persembahan kepada dewa. Selain itu, kesenian ini akan terus lestari selama masih ada pementasan.
"Kalau tidak ada keyakinan itu, potehi sudah punah. Namun, banyak pengurus-pengurus kelenteng sekarang tidak mau mementaskan. Apalagi pandemi menjadi alasan saja. Makanya lebih besar punahnya daripada lestarinya," tandasnya.
(iwd/iwd)