Keputusan Presiden (Keppres) RI 2/2022 soal Penegakan Kedaulatan Negara tengah menjadi pro kontra. Ini karena Keppres tersebut tak mencantumkan nama Presiden ke-2 Soeharto terkait peristiwa serangan umum 1 Maret 1949.
Pakar psikologi politik Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Andik Matulessy mengingatkan bahwa sejarah ditulis oleh penguasa. Karena dengan kekuasaannya ini, penguasa bisa mencantumkan atau mencoret nama atau peristiwa.
"Sejarah itu ditulis oleh penguasa atau pemenang. Jadi siapapun yang berkuasa memiliki kekuatan penuh untuk mengubah dan menambah atau mengurangi tokoh atau cerita dengan alasan meluruskan sejarah," jelas Andik, kepada detikJatim di Surabaya, Jumat (4/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andik kemudian membandingkan saat Orde Baru (Orba) berkuasa, hal itu juga pernah dilakukan. Bagaimana sejarah harus mengikuti versi pemerintah saat itu. Tak jarang nama tokoh atau peristiwa yang terjadi juga dikaburkan bahkan dihilangkan.
"Artinya bisa saja waktu era Orba, pengkultusan pada Presiden Soeharto dianggap menepikan jasa tokoh atau pahlawan lainnya sehingga dianggap tidak adil bagi pelaku sejarah lainnya," papar Andik.
Sebelumnya, Keputusan Presiden RI 2/2022 soal Penegakan Kedaulatan Negara ramai dibahas lantaran tidak mencantumkan nama Presiden ke-2 Soeharto terkait peristiwa serangan umum 1 Maret 1949. Menko Polhukam Mahfud Md memastikan keppres yang diteken Presiden Joko Widodo tersebut tak menghilangkan nama Soeharto dari sejarah.
Dilansir dari situs Sekretariat Negara, Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara resmi diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keppres tersebut mengatur terkait Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Pada diktum kesatu dan kedua keppres tersebut dinyatakan Hari Penegakan Kedaulatan Negara jatuh pada 1 Maret dan bukan merupakan hari libur. Dalam keppres tersebut juga dijelaskan alasan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Pada poin c pertimbangan Keppres terdapat pembahasan berkaitan dengan sejarah serangan umum 1 Maret 1949. Pada poin itu memang tidak tercantum nama Soeharto.
"Bahwa peristiwa Serangan Umum I Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia," bunyi poin c pertimbangan Keppres Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Hal tersebut pun lantas ramai dibahas oleh publik. Menko Polhukam Mahfud Md pun buka suara terkait persoalan tersebut. Dia menyampaikan keppres tersebut tidak menghilangkan nama Soeharto dari sejarah serangan umum 1 Maret 1949.
"Kepres tersebut bukan buku sejarah, tapi penetapan atas 1 titik krusial sejarah. Kepres tersebut tidak menghilangkan nama Soeharto dan lain-lain dalam SU 1 Maret 1949," kata Mahfud seperti dikutip detikcom dari akun Twitternya @mohmahfudmd, Kamis (3/3). Cuitan Mahfud Md telah disesuaikan dengan ejaan yang berlaku.
Mahfud memastikan nama Soeharto tetap disebutkan berkaitan dengan peristiwa serangan umum 1 Maret 1949. Menurutnya, nama Soeharto tercantum dalam naskah akademik Keppres.
"Nama dan peran Soeharto disebutkan di Naskah Akademik Kepres yang sumbernya komprehensif," ucap Mahfud.
"Di dalam konsiderans ditulis nama HB IX, Soekarno, Hatta, Sudirman sebagai penggagas dan penggerak. Peran Soeharto, Nasution, dan lain-lain ditulis lengkap di Naskah Akademik. Sama dengan naskah Proklamasi 1945, hanya menyebut Soekarno-Hatta dari puluhan founding parents lainnya," tambahnya.
(abq/sun)