Sejarah Hari Buruh yang Diperingati Setiap 1 Mei

Sejarah Hari Buruh yang Diperingati Setiap 1 Mei

Mira Rachmalia - detikJatim
Rabu, 23 Apr 2025 16:00 WIB
Sejumlah massa dari berbagai organisasi buruh melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (31/10/2024). Aksi ini dilakukan untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor Perkara 40 tentang Klaster Ketenagakerjaan dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
ILUSTRASI aksi demo buruh, ini sejarah peristiwa Hari Buruh. Foto: Grandyos Zafna
Surabaya -

Buruh atau pekerja memiliki posisi penting dalam negara. Mereka menggerakkan roda perekonomian dan berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Tak heran, jika Hari Buruh diperingati dengan meriah di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia.

Hari Buruh yang juga akrab dengan sebutan May Day di Indonesia, identik dengan aksi demo dari kaum buruh. Pada kesempatan ini mereka berorasi menyuarakan peningkatan kesejahteraan dan hak-hak kaum buruh yang belum terpenuhi dengan baik. Seperti tentang kontrak kerja, upah layak, cuti khusus maupun fasilitas-fasilitas kesejahteraan lainnya.

Peringatan Hari Buruh bertujuan untuk mengenang perjuangan dan jasa para buruh dalam mendapatkan hak-hak di tempat kerja. Lalu, mengapa Hari Buruh diperingati setiap tanggal 1 Mei? Simak sejarah Hari Buruh internasional yang diperingati setiap 1 Mei.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Hari Buruh Internasional

Peringatan Hari Buruh internasional dimulai dari peristiwa kelam yang memberikan gambaran tentang perjuangan berat kaum buruh. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Peristiwa Haymarket.

ADVERTISEMENT

Dikutip Illinois Labor History Society, Peristiwa Haymarket bermula dari gerakan untuk mengkampanyekan kewajiban 8 jam kerja pada musim panas tahun 1884. Saat itu, buruh diwajibkan bekerja 10-16 jam per hari. Meski pekerja dan pemerintah federal telah menyepakati aturan 8 jam kerja yang seharusnya mulai diterapkan pada 1867, pemerintah federal gagal menerapkan aturan ini.

Surat kabar setempat melaporkan pada 1 Mei 1886, 80.000 pekerja melakukan aksi longmarch di Michigan Avenue. Aksi ini berlanjut hingga tanggal 3 Mei 1886. Mengutip Britannica, aksi damai ini berubah menjadi anarkis akibat campur tangan polisi. Satu orang dilaporkan tewas dan beberapa orang mengalami luka-luka.

Penyerangan ini memicu aksi protes yang rencana berlangsung di Haymarket Square pada Selasa sore 4 Mei 1886. Namun, aksi ini berubah menjadi bentrokan antara massa dengan polisi akibat ledakan sebuah bom. Hingga saat ini tidak diketahui asal muasal bom tersebut. Di tengah situasi yang kacau, tembakan polisi semakin brutal, bahkan mengenai rekan sesama polisi sendiri.

Tujuh petugas kepolisian tewas dan 60 lainnya terluka sebelum kekerasan berakhir; korban sipil diperkirakan antara empat hingga delapan orang tewas dan 30 hingga 40 orang mengalami luka-luka. Di Chicago, para pemimpin serikat buruh ditangkap, rumah-rumah digeledah tanpa surat perintah, dan surat kabar serikat ditutup. Akhirnya, delapan orang yang mewakili berbagai unsur dalam gerakan buruh dipilih untuk diadili.

Pada tanggal 20 Agustus 1886, pengadilan menjatuhkan putusan terhadap delapan terdakwa dalam Peristiwa Haymarket. Tujuh orang dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung, sementara satu terdakwa lainnya, Oscar Neebe, dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa. Putusan ini menuai kontroversi luas, karena dinilai sarat muatan politis dan tidak sepenuhnya didasarkan pada bukti yang kuat.

Peristiwa Haymarket mendapat perhatian dunia pada Juli 1889, ketika seorang delegasi dari American Federation of Labor mengusulkan dalam sebuah konferensi buruh di Paris agar tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional.

Usulan ini dimaksudkan untuk mengenang para martir Haymarket dan menyoroti ketidakadilan yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Hingga kini, hampir seluruh negara industri besar memperingati tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh.

Sejarah Hari Buruh di Indonesia

Melacak sejarah perayaan Hari Buruh di Indonesia dapat ditelusuri dari kemunculan organisasi buruh di Indonesia. Dikutip dari halaman perpustakaan komnas perempuan, kemunculan serikat buruh di tanah air bisa dilacak dari masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Pada masa itu, istilah buruh digunakan untuk menyebut kaum pekerja, kuli, petani, pegawai Pemerintah, buruh kereta api, perkebunan, pertambangan, industri, jasa, pelabuhan, dan sebagainya.

Pada masa kolonial, struktur perekonomian sangat bergantung pada pekerjaan yang mengandalkan tenaga fisik dengan tingkat keterampilan yang rendah. Akibatnya, sebagian besar penduduk terutama yang tinggal di wilayah perkotaan bekerja sebagai buruh harian atau buruh lepas dengan upah yang sangat minim dan tanpa jaminan pekerjaan.

Kondisi ini memaksa banyak buruh untuk terus berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya demi mempertahankan hidup. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, baik di kediaman masyarakat Eropa maupun, pada tingkat sosial yang lebih rendah, untuk keluarga kaya pribumi atau keturunan Tionghoa.

Para pekerja ini umumnya terikat pada perjanjian kerja tanpa kepastian upah yang tetap atau kontrak yang jelas. Sensus tahun 1930-yang dikenal sebagai salah satu sensus paling rinci pada masa itu-mencatat bahwa sekitar 30% hingga 40% buruh pribumi di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, Surabaya, dan Bandung bekerja sebagai buruh harian atau pembantu rumah tangga.

Serikat buruh pertama di Jawa dibentuk pada tahun 1905 di lingkungan Perusahaan Kereta Api. Namun, pada masa awal ini, serikat-serikat buruh berada di bawah dominasi pihak Eropa dan hanya melibatkan sebagian kecil buruh pribumi.

Perkembangan yang lebih signifikan terjadi pada dekade 1910-an, khususnya setelah berakhirnya Perang Dunia I. Pada periode ini, mulai muncul gelombang pemogokan yang berkelanjutan dan cukup berhasil, berlangsung hingga tahun 1921.

Pada tahun 1920, tercatat setidaknya terdapat sekitar 100 serikat buruh yang menghimpun tidak kurang dari 100.000 anggota. Pertumbuhan ini tidak terlepas dari upaya para aktivis buruh dalam melakukan propaganda melalui berbagai media seperti pamflet, surat kabar, dan selebaran.

Di sisi lain, peningkatan jumlah buruh upahan di perkotaan turut mempercepat kesadaran kolektif akan kondisi kerja yang eksploitatif. Kesadaran ini kemudian mendorong keyakinan bahwa perubahan dan perbaikan kondisi kerja adalah sesuatu yang mungkin untuk diperjuangkan.

Pada masa tersebut, serikat buruh telah berperan aktif dalam memperjuangkan peningkatan upah serta perbaikan kondisi kerja anggotanya. Salah satu metode yang paling menonjol dalam perjuangan tersebut adalah aksi mogok kerja yang dilakukan secara terorganisir dan masif.

Usai masa kolonial, peringatan Hari Buruh digerakkan kembali pada masa kemerdekaan. Sehingga pada 1 Mei 1946, peringatan Hari Buruh diajukan oleh Kabinet Sjahrir agar ditetapkan secara resmi. Pada 1948, UU No. 12/1948 mengatur bahwa setiap 1 Mei terdapat larangan bekerja untuk para buruh.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, May Day diidentikkan dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya. Karena itu, penetapan Hari Buruh internasional pada 1 Mei pada masa Orde Baru sempat ditiadakan.

Apakah Hari Buruh Libur Nasional?

Mengutip Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, Nomor: 1017 Tahun 2024, Nomor: 2 Tahun 2024, dan Nomor: 2 Tahun 2024 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2025, Hari Buruh yang jatuh pada Kamis 1 Mei 2025 menjadi satu dari 17 hari libur nasional yang ditetapkan pemerintah.

Pemerintah Indonesia menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional sejak 2013 atau pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013, Hari Buruh ditetapkan sebagai hari libur.




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads