Pacitan menyimpan catatan kehidupan keturunan Tionghoa lengkap dengan tradisinya. Ini tergambar dari sebutan 'Kelenteng' yang merujuk pada sebuah tempat di Kecamatan Kota. Bagaimana ceritanya?
Sebuah perempatan di Desa Arjowinangun tak pernah sepi. Deretan parkir kendaraan kian menciptakan kesan padat. Lokasi itu merupakan pertemuan empat ruas jalan. Masing-masing Jalan Panglima Sudirman, Jalan Maghribi, Jalan Adi Sucipto, dan Jalan Rokan Kiri.
Bagi generasi tua, kawasan tersebut kental dengan sebutan Kelenteng. Tak lain karena di tempat itu dahulu pernah berdiri tempat ibadah umat Konghucu. Kini bangunan itu tak lagi tampak. Namun sebutan Kelenteng tetap ikonik hingga sekarang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Letaknya) di tengah jalan. Dulu ada jalan kecil karena dulu di sini belum ada jalan yang besar," kata Rubanji (68), tokoh masyarakat setempat ditemui detikJatim di rumahnya di Jalan Adi Sucipto, Senin (31/1/2022).
Rubanji pun masih dapat mengingat jelas bentuk fisik bangunan kelenteng. Konon ukuranya tak terlalu besar. Luasnya sekitar 10 x 15 meter. Bentuknya juga sederhana. Namun memiliki corak khas warna merah serta ornamen khas oriental.
![]() |
Ciri lain yang terdapat pada kelenteng adalah patung ayam. Posisinya persis di depan bangunan. Patung tersebut konon erat dengan mitos kedatangan kelabang dari arah barat. Jika sewaktu-waktu kelabang tiba, maka si ayam akan mematuknya.
Mengutip cerita para tetua, Rubanji menyebut jika kelenteng sudah ada sejak zaman Belanda. Hanya saja, seiring berjalannya waktu rumah ibadah itu tak lagi digunakan. Bersamaan kebutuhan perluasan jalan, akhirnya warga sepakat merobohkannya.
"Tahun 1957 itu digempur oleh warga sekitar. Karena apa, katanya sudah tidak difungsikan. Akhirnya menjadi jalan seperti ini sampai sekarang," imbuh Rubanji.
Sejak tak difungsikannya kelenteng, kegiatan peribadatan dilaksanakan di bangunan bernama Kongju. Istilah Kongju, lanjut Rubanji bermakna seperti halnya Balai Desa bagi keturunan Tionghoa. Fasilitas tersebut juga digunakan untuk kegiatan sosial lain.
Dua tahun lalu, detikJatim berkesempatan berbincang dengan warga keturunan Tionghoa, Almarhum Hari Sunarno. Ditemui di rumahnya, Dusun Pager, Desa Arjowinangun, almarhum membeber kenangan masa kecilnya di kawasan yang dulu disebut Pecinan itu.
"Jadi di belakang bekas bangunan kelenteng, dulunya adalah rumah Perkumpulan Tionghoa. Ketuanya adalah kakek saya. Nama beliau Tan Bian Ging atau Mbah Truno," ujarnya kala itu.
Dulunya bangunan yang sekaligus menjadi tempat pertemuan, juga digunakan menyimpan aneka benda untuk kebutuhan ritual dan budaya. Dua di antaranya liong dan barongsai. Bahkan kereta jenazah juga disimpan di bangunan tersebut.
Keranda beroda yang ditarik manusia itu kerap digunakan membawa jenazah ke pemakaman di Lingkungan Tamperan, Kelurahan Sidoharjo. Jaraknya sekitar 3 kilometer.
"Waktu saya muda dulu pernah ikut menarik kereta (jenazah) itu menuju ke Bong Cino (pemakaman Tionghoa) di Tamperan itu," papar almarhum yang jenazahnya dimakamkan di Pekuburan Kucur, Kelurahan Sidoharjo.
(iwd/iwd)