Menyusuri Sejarah Mangkunegaran Bersama Soerakarta Walking Tour

Dewa Saputra - detikJateng
Sabtu, 05 Okt 2024 14:23 WIB
Suasana Pasar Triwindu Solo. Foto: dok. detikJateng
Solo -

Banyak cerita sejarah yang menarik di sekitar Puro Mangkunegaran Solo, mulai dari Pasar Triwindu, Sekolah Siswo, hingga Masjid Al-Wustho. detikJateng berkesempatan menyusurinya bersama Soerakarta Walking Tour. Berikut kisahnya.

Tur jalan kaki dengan peserta sekitar 30 orang itu diselenggarakan pada Sabtu (21/9) sore. Titik kumpulnya di depan Pasar Triwindu, selatan Puro Mangkunegaran.

Pemandu Soerakarta Walking Tour, Wahid (26) membuka acara dengan memberikan penjelasan seputar rutenya. Wahid saat itu ditemani satu pemandu lain, Yasinta (22).

Sejarah Pasar Triwindu

Awalnya Wahid menjelaskan tentang sejarah Pasar Triwindu. Dia juga menunjukkan foto udara (aerial view) kompleks Puro Mangkunegaran.

"Pasar Triwindu didirikan untuk memperingati tahun kenaikan takhta Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VII, yang ke berapa ada yang tahu?" tanya Wahid ke peserta, Sabtu (21/9/2024).

"24 tahun," jawab salah seorang peserta dari Jogja.

Wahid menjelaskan lebih lanjut, dahulu pasar ini hadiah dari putri KGPAA Mangkunegara VII, Gusti Noeroel Kamaril, sebagai peringatan 24 tahun kenaikan takhta ayahnya.

Awalnya pasar ini menyediakan bermacam dagangan, dari sayuran hingga perabot unik.

"Triwindu tidak hanya sebagai simbol peringatan. Pada waktu itu (awal didirikan), pasar ini menyediakan barang yang tidak seharusnya dijual atau jarang ditemui, seperti suvenir piring dengan corak dan ciri khas yang menonjol," ungkap Wahid.

Seiring waktu, banyak benda-benda antik di Pasar Triwindu. Masyarakat kemudian mengenal pasar ini sebagai pasar barang antik. Pada 2011, di masa pemerintahan Wali Kota Solo Joko Widodo, Triwindu diresmikan sebagai pasar barang antik.

Sejarah Sekolah Siswo

Setelah 15 menit menyimak pengantar dari Wahid dan Yasinta, peserta lalu berjalan ke arah Puro Mangkunegaran. Saat melintasi sebuah gedung sekolah dengan patung buto (raksasa) menempel di dindingnya, mereka berhenti sejenak lalu memotretnya.

Wahid bilang sekolah ini cukup menarik baginya. Menurut dia, ini adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Solo, namanya Sekolah Siswo, didirikan oleh KGPAA Mangkunegara VI.

Sekolah Siswo pada masa KGPAA Mangkunegaran VI dikenal sebagai sekolah siji (satu), karena itulah sekolah pertama yang didirikan Mangkunegaran.

"Sekolah Siswo ini diperuntukkan keluarga Mangkunegaran, lalu berganti menjadi HIS (Hollandsch-Inlandsche School), dan menariknya waktu itu sudah menggunakan Bahasa Belanda sebagai pengantar," ujar Wahid.

Kini Sekolah Siswo dimanfaatkan sebagai sekolah olahraga. Sebelumnya Sekolah Siswo pernah dipakai untuk SMPN 5 Solo dan SDN Bromantakan No 56.

Sementara itu keberadaan patung buto yang sejajar dengan pintu masuk ke bangunan itu menyita perhatian sebagian peserta Soerakarta Walking Tour. Seorang peserta dari Jakarta menyebut patung itu jadi pembeda dari gedung-gedung sekolah lain di Solo. Dia lalu menanyakan sejarah soal patung tersebut.

"Kami tidak tahu pastinya, dari literatur yang kami kumpulkan, sebenarnya patung buto itu sering ditemui di Jawa Timur, ya meski di Jawa Tengah-Yogyakarta itu ada, cuma gesturnya berbeda. Kalau di Jawa Timur gestur tangan seperti mencengkeram, sedangkan di Jawa Tengah-Yogyakarta itu hanya menunjukkan jari telunjuk dan tengah," jawab Yasinta.

Patung-patung Simbol Kedigdayaan

Melanjutkan perjalanan, peserta Soerakarta Walking Tour kemudian tiba di sisi timur Puro Mangkunegaran. Beberapa patung peninggalan Mangkunegara VII menyambut kedatangan peserta. Patung-patung itu masih utuh, hanya warnanya yang telah berubah seiring waktu.

Wahid lalu menjelaskan beberapa bangunan yang masih kokoh, salah satunya pendopo untuk anak-anak bermain dan belajar.

"Di titik ini kenapa banyak patung, atau alasan diletakkannya patung di sini apa?" tanya seorang peserta.

Wahid menjelaskan, pada era kepemimpinan KGPAA Mangkunegaran VII banyak dibangun patung sebagai simbol kedigdayaan. Di masa itu Mangkunegaran sudah memiliki kompleks yang terdiri dari sekolah, pusat pemerintahan, dan pasar.

Modernisasi Mangkunegaran, kata Wahid, sudah terlihat sejak era KGPAA Mangkunegara IV. Hal itu ditandai dengan dibangunnya sejumlah pabrik gula dan pabrik teh. Produksi gula Mangkunegaran waktu itu untuk memenuhi kebutuhan di Jawa dan juga diekspor.

Pabrik-pabrik itu menyokong perekonomian Mangkunegaran. Sejak itu pembangunan di sekitar Puro Mangkunegara mulai digencarkan. Puncaknya, kata Wahid, di era KGPAA Mangkunegara VII.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.




(dil/apu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork