Banyak cerita sejarah yang menarik di sekitar Puro Mangkunegaran Solo, mulai dari Pasar Triwindu, Sekolah Siswo, hingga Masjid Al-Wustho. detikJateng berkesempatan menyusurinya bersama Soerakarta Walking Tour. Berikut kisahnya.
Tur jalan kaki dengan peserta sekitar 30 orang itu diselenggarakan pada Sabtu (21/9) sore. Titik kumpulnya di depan Pasar Triwindu, selatan Puro Mangkunegaran.
Pemandu Soerakarta Walking Tour, Wahid (26) membuka acara dengan memberikan penjelasan seputar rutenya. Wahid saat itu ditemani satu pemandu lain, Yasinta (22).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Pasar Triwindu
Awalnya Wahid menjelaskan tentang sejarah Pasar Triwindu. Dia juga menunjukkan foto udara (aerial view) kompleks Puro Mangkunegaran.
"Pasar Triwindu didirikan untuk memperingati tahun kenaikan takhta Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VII, yang ke berapa ada yang tahu?" tanya Wahid ke peserta, Sabtu (21/9/2024).
"24 tahun," jawab salah seorang peserta dari Jogja.
Wahid menjelaskan lebih lanjut, dahulu pasar ini hadiah dari putri KGPAA Mangkunegara VII, Gusti Noeroel Kamaril, sebagai peringatan 24 tahun kenaikan takhta ayahnya.
Awalnya pasar ini menyediakan bermacam dagangan, dari sayuran hingga perabot unik.
"Triwindu tidak hanya sebagai simbol peringatan. Pada waktu itu (awal didirikan), pasar ini menyediakan barang yang tidak seharusnya dijual atau jarang ditemui, seperti suvenir piring dengan corak dan ciri khas yang menonjol," ungkap Wahid.
Seiring waktu, banyak benda-benda antik di Pasar Triwindu. Masyarakat kemudian mengenal pasar ini sebagai pasar barang antik. Pada 2011, di masa pemerintahan Wali Kota Solo Joko Widodo, Triwindu diresmikan sebagai pasar barang antik.
Sejarah Sekolah Siswo
Setelah 15 menit menyimak pengantar dari Wahid dan Yasinta, peserta lalu berjalan ke arah Puro Mangkunegaran. Saat melintasi sebuah gedung sekolah dengan patung buto (raksasa) menempel di dindingnya, mereka berhenti sejenak lalu memotretnya.
Wahid bilang sekolah ini cukup menarik baginya. Menurut dia, ini adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Solo, namanya Sekolah Siswo, didirikan oleh KGPAA Mangkunegara VI.
Sekolah Siswo pada masa KGPAA Mangkunegaran VI dikenal sebagai sekolah siji (satu), karena itulah sekolah pertama yang didirikan Mangkunegaran.
"Sekolah Siswo ini diperuntukkan keluarga Mangkunegaran, lalu berganti menjadi HIS (Hollandsch-Inlandsche School), dan menariknya waktu itu sudah menggunakan Bahasa Belanda sebagai pengantar," ujar Wahid.
Kini Sekolah Siswo dimanfaatkan sebagai sekolah olahraga. Sebelumnya Sekolah Siswo pernah dipakai untuk SMPN 5 Solo dan SDN Bromantakan No 56.
Sementara itu keberadaan patung buto yang sejajar dengan pintu masuk ke bangunan itu menyita perhatian sebagian peserta Soerakarta Walking Tour. Seorang peserta dari Jakarta menyebut patung itu jadi pembeda dari gedung-gedung sekolah lain di Solo. Dia lalu menanyakan sejarah soal patung tersebut.
"Kami tidak tahu pastinya, dari literatur yang kami kumpulkan, sebenarnya patung buto itu sering ditemui di Jawa Timur, ya meski di Jawa Tengah-Yogyakarta itu ada, cuma gesturnya berbeda. Kalau di Jawa Timur gestur tangan seperti mencengkeram, sedangkan di Jawa Tengah-Yogyakarta itu hanya menunjukkan jari telunjuk dan tengah," jawab Yasinta.
Patung-patung Simbol Kedigdayaan
Melanjutkan perjalanan, peserta Soerakarta Walking Tour kemudian tiba di sisi timur Puro Mangkunegaran. Beberapa patung peninggalan Mangkunegara VII menyambut kedatangan peserta. Patung-patung itu masih utuh, hanya warnanya yang telah berubah seiring waktu.
Wahid lalu menjelaskan beberapa bangunan yang masih kokoh, salah satunya pendopo untuk anak-anak bermain dan belajar.
"Di titik ini kenapa banyak patung, atau alasan diletakkannya patung di sini apa?" tanya seorang peserta.
Wahid menjelaskan, pada era kepemimpinan KGPAA Mangkunegaran VII banyak dibangun patung sebagai simbol kedigdayaan. Di masa itu Mangkunegaran sudah memiliki kompleks yang terdiri dari sekolah, pusat pemerintahan, dan pasar.
Modernisasi Mangkunegaran, kata Wahid, sudah terlihat sejak era KGPAA Mangkunegara IV. Hal itu ditandai dengan dibangunnya sejumlah pabrik gula dan pabrik teh. Produksi gula Mangkunegaran waktu itu untuk memenuhi kebutuhan di Jawa dan juga diekspor.
Pabrik-pabrik itu menyokong perekonomian Mangkunegaran. Sejak itu pembangunan di sekitar Puro Mangkunegara mulai digencarkan. Puncaknya, kata Wahid, di era KGPAA Mangkunegara VII.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Sejarah Masjid Al-Wustho
Menutup sesi tur sejarah Puro Mangkunegaran, peserta diajak ke Masjid Al-Wustho, salah satu masjid tertua di Solo.
"Masjid ini pernah dipugar. Dulu dibangun waktu era KGPAA (Mangkunegara) I, tempat awalnya di dekat Pasar Legi, namun karena dirasa saling mengganggu, baik yang di pasar atau di masjid, akhirnya dipindah ke sini," ucap Wahid.
Dia menuturkan, Masjid Al-Wustho dipindahkan semasa kepemimpinan KGPAA Mangkunegara III. Lalu karena dirasa perlu perawatan, masjid ini dipugar di masa KGPAA Mangkunegara VII. Arsitek dari Belanda, Thomas Karten, yang menyusun langsung blue print pembangunannya.
Saat pemugaran, beberapa bangunan baru ditambahkan, seperti menara untuk mengumandangkan adzan dan Maligin yang memberi nuansa berbeda.
Wahid menjelaskan nama asli masjid ini adalah Masjid Mangkunegaran. Semasa takmir dipegang oleh Raden Tumenggung KH Imam Rosidi, pada 1949, namanya berganti menjadi Masjid Al-Wustho yang berarti 'tengah'. Sebab, masjid ini lebih kecil dari Masjid Agung Solo, tapi tak lebih kecil dari masjid lainnya dan posisinya di tengah Kota Solo.
Tentang Soerakarta Walking Tour
Sebagian peserta Soerakarta Walking Tour berasal dari luar Kota Solo. Salah satunya Gus Rifan (22), mahasiswa jurusan peternakan dari Universitas Mercu Buana Jogja. Selama tur berlangsung, Rifan termasuk peserta yang aktif bertanya.
"Saya tertarik dengan sejarah kerajaan dan tokoh, punya keinginan mendalami sejarah tersebut," kata dia kepada detikJateng, Sabtu (21/9/2024).
Menurut Rifan, sejarah yang disampaikan pemandu sama seperti yang pernah dia baca di buku-buku maupun artikel. Tapi dengan terjun langsung ke lokasi, dia mengaku mendapat beberapa wawasan baru
"Aku ikut Soerakarta Walking Tour sudah empat kali, baru kali ini lewat rute Puro Mangkunegaran. Alasan ikut ya karena senang, apalagi selalu dapat informasi atau data baru," ucapnya.
"Beda dengan komunitas jelajah sejarah lain yang pernah saya ikuti, di Soerakarta Walking Tour data yang dikumpulkan cukup kuat, narasinya juga kuat. Arsipnya tadi juga menarik, bahkan saya bisa akses koleksi digital mereka," sambung Rifan.
Ditemui secara terpisah, Wahid mengatakan data sejarah yang disampaikan saat tur itu merupakan hasil riset yang dilakukan sejak cikal bakal komunitas ini terbentuk.
Dulu komunitas ini bernama Blusukan Solo, didirikan oleh para pegiat sejarah yang sudah menggali banyak data tentang sejarah Solo. Komunitas ini sempat berganti nama menjadi Laku Lampah. Wahid menyebut arsip data mereka terus dirawat dan diperbarui sampai kini bersalin nama menjadi Soerakarta Walking Tour.
Data yang mereka kumpulkan mulai dari surat kabar zaman dulu, arsip dari beberapa perpustakaan di Solo termasuk dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Solo, artikel ilmiah, jurnal, dan wawancara langsung dengan warga sekitar.
"Kami sebenarnya dari rumpun ilmu yang beragam. Saya dari pariwisata, kalau Mas Wahid sekarang pekerja. Dia juga bukan dari rumpun sejarah, tapi fokus kita sejak awal memang di sejarah. Semangat itu yang terus dijaga oleh perintis komunitas ini sampai sekarang," kata Yasinta.
Artikel ini ditulis Dewa Saputra peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.