Di puncak Bukit Turgo, Sleman, tiap hari didatangi oleh banyak orang. Mereka berziarah di petilasan Syekh Jumadil Kubro yang ada di puncak bukit.
Kisah hidup Syekh Jumadil Kubro tidak banyak diketahui. Namun banyak yang meyakini bahwa tokoh tersebut adalah sosok nenek moyang dari para wali yang mengawali syiar Islam di Jawa.
Syeikh Jumadil Kubro berada di Bukit Turgo tepatnya di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem. Jarak Untuk mencapai titik awal pendakian dari Kota Jogja sekitar 28 km atau sekitar satu jam bila menggunakan kendaraan bermotor.
Pengendara kendaraan harus parkir di tempat yang disediakan. Selanjutnya mereka harus berjalan kaki melalui tangga. Perjalanan untuk bisa tiba di petilasan itu juga membutuhkan waktu sekitar satu jam.
Para peziarah cukup antusias meski perjalanan menaiki tangga itu cukup melelahkan. Kebanyakan dari mereka terlihat mengenakan peci dan sarung.
Ketika hendak sampai ke puncak terdapat salah satu fasilitas untuk berteduh. Tempat tersebut cukup panjang sekitar 8 meter.
Setiba di puncak, peziarah akan menemukan petilasan berbentuk seperti nisan yang dihiasi keramik. Bendera merah-putih terpasang di samping petilasan tersebut.
Kepala Padukuhan Turgo, Misran mengakui bahwa cerita mengenai petilasan itu masih simpang siur. Banyak yang mengatakan tempat itu sebagai petilasan Syekh Jumadil Kubro. Namun, tidak jarang yang meyakini bahwa tempat itu merupakan makam tokoh tersebut.
![]() |
"Kita juga tidak tahu pasti, karena di mana-mana ada ya makam Syeikh Jumadil Kubro. Kalau dugaan saya ya maqom atau petilasan meski ada yang bilang makam juga. Kalau makam mesti ada jasadnya, hanya praduga cerita orang dahulu mungkin dulu cuma bertapa di sana," ujar Misran ditemui di Turgo, Senin 16/1/2023.
Selain itu Misran juga menyebut beberapa wisatawan religi datang dari berbagai daerah untuk mengunjungi tempat tersebut.
"Wisatawan religi itu datang dari mana -mana dari Jawa Barat, dari Jawa Timur, Lampung, macam-macam," ujar Misran.
Dulunya, jalan untuk menuju puncak Bukit Turgo hanya jalan setapak. Baru sekitar tiga tahun lalu dibuat tangga dari semen menggunakan Dana Keistimewaan.
"Dulu jalannya biasa hanya tanah jadi kalau hujan tengah itu basah, tidak rata. Ini di bangun dari Dais (Dana Keistimewaan)," katanya.
(ahr/apl)