Jika anda ingin merangkai masa lalu, jawabannya ada di Pasar Triwindu, Jalan Diponegoro, Solo. Berbagai barang antik bisa dibeli untuk membawa suasana zaman dahulu ke dalam rumah atau tempat usaha anda.
Tengoklah lorong-lorong sempit Pasar Triwindu, tak sedikit kios yang memajang lampu-lampu gantung peninggalan Belanda. Tak main-main, harganya bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah.
Ada pula barang kuno lainnya, televisi lawas, mesin ketik, kaset, mesin jahit, patung, hingga perabot dari bahan porselen. Harganya pun bermacam-macam, mulai puluhan ribu rupiah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun tak semuanya barang bekas, banyak pula barang-barang baru. Karena selain menjual barang antik, Pasar Triwindu juga merupakan pasar kerajinan.
![]() |
Seperti kios milik Yusuf, dijual beberapa lampu gantung zaman Belanda yang dijual seharga Rp 17 juta. Namun dia lebih banyak menjual barang-barang kerajinan.
"Peminat barang antik kan tidak banyak, lampu Belanda itu mungkin sudah lima tahun di sini. Makanya pedagang di sini banyak yang jual kerajinan pendapatan harian," ujar Yusuf, Sabtu (18/12/2021).
Cara penjualan para pedagang Pasar Triwindu lebih banyak mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut. Menurutnya, penjualan melalui online kurang diminati.
"Saya jual di online itu peminatnya tidak banyak. Karena memang pembeli kebanyakan pengin lihat langsung barangnya. Lebih banyak yang ke sini," kata Yusuf yang merupakan generasi ketiga dari pemilik kios itu.
Pedagang lainnya, Yoyok, mengatakan para pembeli biasanya mencari barang-barang untuk menghias rumah, kafe atau rumah makan agar bernuansa lawas. Barang jualannya antara lain hiasan dinding dari gerabah yang digambari iklan-iklan lama.
"Sekarang kan lagi banyak kafe yang dibuat suasana jadul. Harganya macam-macam, kalau hiasan-hiasan dinding mulai Rp 75 ribu," katanya.
Dibangun era Mangkunegara VII
Sejarahnya, nama Triwindu diambil dari kata tri dan windu yang berarti tiga windu atau 24 tahun. Keberadaan Pasar Triwindu merupakan bagian dari peringatan 24 tahun bertakhtanya KGPAA Mangkunegara VII tahun 1939.
Peringatan kenaikan takhta yang ke-24 tahun itu memang digelar secara besar-besaran. Bahkan Ratu Wilhelmina dari Belanda datang dalam peringatan itu.
Dalam arsip yang disimpan Rekso Pustoko, perpustakaan Pura Mangkunegaran, tercatat adanya berbagai acara digelar pada periode 2 Juni-22 Agustus 1939. Acara tersebut mulai dari perjamuan, berbagai pentas seni dan hiburan hingga lomba lari 10 km.
Simak selengkapnya di halaman berikut..
Lokasi tersebut awalnya adalah kandang kuda Pura Mangkunegaran. Laman resmi Pura Mangkunegaran menyebutkan pasar awalnya hanya menjual jajanan pasar (makanan ringan), kain, majalah dan koran.
Pasar Triwindu terbukti sebagai simbol kerakyatan dari Mangkunegara VII. Sebab pasar ini menghidupkan perekonomian masyarakat kalangan bawah yang kemudian mulai berjualan barang bekas, mulai alat pertukangan, perabot rumah tangga, perhiasan hingga kerajinan.
Koran Kedaulatan Rakyat terbitan 1 Mei 1988 menyebutkan, Mangkunegara VII pun tak segan menyamar untuk bisa menyaksikan hiruk pikuk orang tawar-menawar di Pasar Triwindu. Pasar kemudian berjaya di era Jepang (1942-1945) karena kaum elite juga mulai bertransaksi di sana.
![]() |
Sempat berganti nama
Memasuki era kemerdekaan, pasar tersebut diubah namanya menjadi Pasar Windu Jenar oleh Pemkot Solo. Namun oleh Wali Kota Joko Widodo, namanya dikembalikan menjadi Pasar Triwindu pada tahun 2011.
"Dulu di era Pak Jokowi banyak dilakukan penataan pasar, salah satunya Pasar Triwindu itu. Bangunannya juga dibuat sesuai dengan desain awalnya," kata Kepala Dinas Perdagangan Solo, Heru Sunardi, Minggu (19/12/2021).
Pasar Triwindu kini menjadi pusat barang antik sekaligus pasar seni. Pasar ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dalam negeri maupun mancanegara.
"Rencananya juga akan dilakukan penataan kawasan dari Koridor Gatot Subroto sampai ke Mangkunegaran. Diharapkan nanti Pasar Triwindu jadi lebih menarik wisatawan," tutupnya.