Warga Kota Solo dan sekitarnya dikenal sebagai masyarakat yang memiliki budaya minum teh yang cukup kuat. Minuman teh menjadi suguhan yang istimewa, baik di perjamuan atau saat kongko di wedangan.
Mereka menggemari teh yang nasgitel, singkatan dari panas, legi (manis) dan kenthel (kental). Warung dan wedangan berlomba-lomba menyajikan resep teh yang memanjakan lidah dan kerongkongan.
Padahal, di masa lalu, Mangkunegaran dikenal sebagai salah satu pemilik perkebunan kopi. Mereka menanami lahannya dengan tanaman kopi termasuk di kawasan lereng Lawu.
Uniknya, budaya ngopi di Solo dan sekitarnya tidak sekuat daerah-daerah lain. Kota Jogja, misalnya, memiliki budaya kopi joss dan kopi klotok. Namun Solo tetap bertahan dengan budaya ngeteh yang kuat.
Sejarawan Universitas Sanata Dharma Jogja, Heri Priyatmoko mengatakan kehadiran perkebunan Kopi di Mangkunegaran tak serta merta menumbuhkan budaya minum kopi yang kuat di masyarakat dan aristokrat Solo. Pada era itu banyaknya varian minuman, kopi hanya selipan di antara banyaknya minuman. Selain itu perkebunan kopi itu lebih ke arah upaya bisnis dan ekspor pada masanya.
"Mangkunegaran mengelola kopi itu untuk menjawab kepentingan ekspor, komoditas kopi, gula teh, tembakau komoditas yang diekspor keluar. Kopi yang dibudidayakan lebih pada upaya bisnis, bukan untuk diminum sendiri," kata Heri yang merupakan penulis buku 'Keplek Ilat: Sejarah Wisata Kuliner Solo', Sabtu (17/12/2022).
Sedangkan penguasa Keraton Kasunanan Solo, Paku Buwono X, pada masanya memiliki sebuah pabrik teh bernama Madusita di kawasan Ngampel. Keberadaan pabrik teh tersebut membawa dampak ekonomi terhadap masyarakat.
Awalnya tradisi minum teh di Solo juga merupakan budaya masyarakat kelas elite. Minum teh merupakan tradisi yang berkembang di dalam tembok keraton.
"Minum teh juga menjadi bagian dari jamuan makan tamu agung. Seperti tanggal 2 Juli 1901, Raja Siam (Thailand) berkunjung ke Mangkunegaran dan Kasunanan. Raja diajak ke ruang makan mewah untuk menyantap sajian makanan dan minum teh," kata Heri beberapa waktu lalu.
Kebiasaan minum teh para bangsawan ini juga menggambarkan status sosial mereka. Sebab mereka seakan memamerkan perlengkapan minum teh mereka dari porselen, perak, hingga emas.
Meski demikian kebiasaan minum kopi sebenarnya juga hidup di kalangan bangsawan. Namun kopi tidak pernah jadi sajian utama.
"Di pawon keraton seperti pawon ageng bisa menyediakan apapun tergantung selera raja. Ada lagi pawon khususkan untuk minuman eropa, susu. Ini bisa semua, tidak mengenal waktu, tapi lebih banyak teh dalam perayaan-perayaan keraton. Dilayani dengan teh karena teh ini lebih general, kopi belum banyak dijumpai dari berbagai literatur dalam suguhan utama," ujar Heri.
Seiring waktu berjalan, budaya ngeteh tak lagi milik elite. Terutama di Solo, hampir seluruh warganya suka minum teh. Atau paling tidak mereka menyediakan teh di rumahnya jika ada tamu datang.
Kini di angkringan atau wedangan kaki lima pun menjajakan aneka minuman teh, dari teh krampul hingga teh tape, hangat maupun dingin.
Fenomena warung kopi yang mulai menjamur di halaman berikutnya.
(ahr/dil)