Melihat Lagi Kampung Mati Pengasih yang Menyisakan Penghuni Terakhir

Round-Up

Melihat Lagi Kampung Mati Pengasih yang Menyisakan Penghuni Terakhir

Tim detikJateng - detikJateng
Selasa, 20 Jun 2023 05:30 WIB
Kondisi rumah satu-satunya di Kampung Mati, Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023).
Kondisi rumah satu-satunya di 'Kampung Mati' Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJateng
Kulon Progo -

Sebuah kampung di Kapanewon Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, DIY, mendapat julukan 'Kampung Mati'. Kampung yang berada di kawasan perbukitan Menoreh ini menyisakan satu kepala keluarga (KK) penghuni terakhir.

Kampung Mati ini terletak di Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo. Dahulu, kampung yang berada di tengah hutan kawasan perbukitan Menoreh itu dihuni oleh sedikitnya tujuh KK.

Seiring waktu, mereka memutuskan pergi meninggalkan wilayah tersebut sehingga kampung ini menjadi sepi dan seakan mati dari geliat aktivitas manusia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masih ada satu keluarga yang bertahan di kampung ini. Keluarga beranggotakan empat orang, yakni pasangan suami-istri Sumiran (49) dan Sugiati (50) serta dua anaknya yakni Agus Sarwanto (23) dan Dewi Septiani (10). Keluarga ini menjadi penghuni terakhir 'Kampung Mati'.

Sugiati menyebut keluarganya benar-benar hidup sendiri sejak 4 tahun terakhir.

ADVERTISEMENT

"Penduduk terakhir yang pindah itu sekitar 4 tahun lalu. Jadi sejak 4 tahun ini kami memang menyendiri," kata Sugiati, Jumat (16/6/2023).

Rumah penghuni terakhir di Kampung Mati, Dusun Watu Belah, Sidomulyo, Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023).Rumah penghuni terakhir di 'Kampung Mati' Dusun Watu Belah, Sidomulyo, Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJateng

Keluarga Sumiran-Sugiati menetap di Kampung Mati sejak 24 tahun silam. Sumiran bekerja sebagai tukang kayu dengan penghasilan tak menentu. Sementara Sugiati fokus mengurus rumah tangga.

Adapun anak sulung mereka, Agus Sarwanto bekerja di sebuah pabrik pengolahan makanan di Bantul. Sementara si bungsu, Dewi Septiani sekolah Kelas III SDN Kutogiri.

Rumah yang keluarga ini huni merupakan warisan dari leluhur Sumiran. Rumah bergaya joglo dengan dinding kayu dan lantai tanah ini tampak mencolok karena menjadi satu-satunya bangunan yang berdiri di Kampung Mati.

Sejauh mata memandang hanya terlihat rerimbun pohon dan pekarangan penuh rumput liar. Dulunya pekarangan itu merupakan area permukiman.

Rumah penghuni terakhir di Kampung Mati, Dusun Watu Belah, Sidomulyo, Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023).Rumah penghuni terakhir di 'Kampung Mati' Dusun Watu Belah, Sidomulyo, Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJateng

"Di samping rumah ini (pekarangan) kita masih bisa lihat sisa fondasi bangunan. Nah itu bekas fondasi rumah tetangga kami yang sekarang sudah pergi," ujar Sugiati.

"Di atas bukit itu juga dulu ada rumah. Tapi sekarang yang punya udah pindah," timpal Sumiran.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

Untuk makan dan minum keluarga ini mengandalkan sumber daya alam yang memang masih banyak ditemukan di perbukitan Menoreh. Seperti sumber air bersih, sayur, buah-buahan, hingga hewan.

"Saya senang di sini, karena kalau cari kayu bakar dekat. Cari rumput dekat, cari daun singkong juga dekat. Air, walaupun itu airnya agak-agak putih, tetap bisa mengalir dari Sendang Pule di atas situ," ucap Sugiati menjelaskan alasannya tetap tinggal di Kampung Mati.

Menurutnya, penduduk yang pindah terakhir itu memilih tinggal di lokasi yang aksesnya lebih terjangkau.

"Karena di sini jauh dari jalan yang bisa diakses kendaraan. Harus jalan kaki dulu sejauh 1,5 sampai 2 km. Jadi banyak yang pindah," jelasnya.

Dukuh Watu Belah, Gunawan mengatakan dulunya ada 10 rumah termasuk milik keluarga Sumiran-Sugianti yang menetap di area perkampungan tersebut. Karena akses jalan yang sulit, banyak warga yang pindah dan menyisakan satu rumah saja.

"Karena di sini waktu itu masih ada 10 rumah termasuk Bapak Sumiran, tapi berjalannya waktu karena akses jalan yang mungkin tidak bisa dibuka khususnya untuk yang di RT 45 atau di wilayah Pak Sumiran ini warga itu berpindah ke tempat yang lebih dekat dengan akses jalan karena mungkin juga mengingat dari kewilayahan di seputaran sini itu memang agak sulit letak geografisnya," ucap Gunawan kepada detikJateng, Jumat (16/6).

"Jarak terdekat dari rumah warga lain (dari keluarga Sumiran) kurang lebih 1,5-2 km," kata Gunawan.

Meski jauh dengan tetangga, keluarga Sumiran tetap bersosialisasi. Keluarga ini juga rutin menghadiri kegiatan kemasyarakatan seperti hajatan, melayat, dan lain-lain.

Halaman 2 dari 2
(rih/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads