Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan mengosongkan Tanah Kas Desa (TKD) yang disalahgunakan, termasuk yang terlanjur dibangun menjadi perumahan. Sementara warga yang terlanjur membeli rumah diimbau untuk melapor polisi.
Kepala Satpol PP DIY, Noviar Rahmad mengatakan pihaknya telah menindak setidaknya lima titik TKD yang disalahgunakan pengembang (developer) menjadi hunian dan dijual.
Menurut Pergub Nomor 34 tahun 2017, Noviar menjelaskan, TKD yang disalahgunakan izinnya atau tidak mempunyai izin, maka tanahnya akan dikembalikan ke pemerintah desa seperti semula.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi warga yang sudah terlanjur membeli hunian di TKD, Noviar mengimbau agar mereka melapor ke kepolisian atas dugaan penipuan.
"Yang menerima uang kan developer (pengembang), jadi developer yang bertanggung jawab. Kalau misal ada konsumen yang merasa dirugikan ya segera dilaporkan ke pihak kepolisian karena ini modusnya penipuan," jelas Noviar saat dihubungi wartawan, Selasa (2/5).
Cerita Pembeli Rumah di TKD
Para pembeli perumahan di TKD ternyata tergiur dengan iming-iming yang ditawarkan oleh pengembang. Berikut cerita dari para pembeli rumah di TKD Candibinangun, Pakem, Sleman.
Salah satu pembeli berinisial AM menceritakan awal mula membeli rumah di kawasan tersebut. AM mengaku dirinya memang berniat mencari hunian untuk menghabiskan masa pensiunnya. Pada Maret 2021, datanglah tawaran dari seseorang mengenai perumahan di TKD Candibinangun ini.
Singkat cerita, AM akhirnya membeli satu rumah di kawasan tersebut. Ia mengaku sejak awal mengetahui bahwa status tanah tersebut adalah TKD yang mana legalitasnya hanya menggunakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
AM merinci mengapa akhirnya dia bersedia membeli rumah kendati kawasan tersebut adalah TKD yang legalitasnya bukan sertifikat Hak Milik (SHM).
Pertama, AM ditawari oleh pihak developer jika kawasan tersebut akan dijadikan kawasan objek wisata terpadu. Dalam kawasan tersebut akan dibangun vila yang dapat ditempati sendiri maupun disewakan.
Vila-vila tersebut lah yang ditawarkan oleh pihak marketing ke calon pembeli dengan narasi sebagai bentuk investasi, yang kemudian para pembelinya disebut investor yang diberi Surat Perikatan Investasi (SPI) sebagai pegangan.
"(Pada saat beli) disebutkan (TKD), 20 tahun sejak ditanda tangani (SPI). Bisa diperpanjang dengan biaya notaris saja," ujar AM saat dijumpai wartawan di rumahnya, Jumat (5/5/2023).
"Penjelasannya adalah, dalam rangka untuk mendukung objek wisata ini, maka didirikan lah vila-vila ini. Vila-vila ini nanti untuk mendukung perekonomian, bisa disewakan, bisa ditempati sendiri. Bahkan bisa (disewakan) lewat manajemen," lanjutnya.
Kedua, kehadiran notaris pada prosesnya, membuat AM percaya dengan legalitas dari transaksi tersebut. Bahkan, menurutnya, saat tanda tangan SPI juga dilampirkan surat-surat dari dinas terkait.
"Bahkan di dalam SPI, yang kami tanda tangani di depan notaris, antara direkturnya sini (pengembang) dengan saya itu, menyebutkan ada surat dari Badan Pertahanan, Bappeda, SK Gubernur, yang seakan-akan 'ini lho ada tanah, silahkan dikelola, tapi harus dipakai seperti ini'," tambahnya.
Sementara itu, pembeli lain berinisial TF mengungkapkan jika pada 2021 pembangunan yang dilakukan di kawasan tersebut dilakukan secara besar besaran.
Melihat tidak adanya teguran dari warga dan lurah setempat soal pembangunan besar di TKD tersebut, turut meyakinkan TF jika proyek tersebut legal.
"Loh warga nggak apa apa, lurah nggak protes, oh berarti memang ini legal," ujarnya.
Simak harapan para pembeli rumah di TKD tersebut di halaman selanjutnya.
Harapan Pembeli Rumah di TKD
Menanggapi rencana perobohan rumah-rumah di TKD, AM berharap masih tetap bisa menggunakan TKD yang menjadi haknya sesuai dengan yang tertuang dalam Surat Perikatan Investasi (SPI).
"Pokoknya ya sesuai dengan SPI yang kami tanda tangani, ya kami paling tidak bisa memanfaatkan 20 tahun," ujar AM saat ditemui wartawan di rumahnya, Jumat (5/5/2023).
Sementara itu, TF menambahkan pihaknya bahkan siap memperjuangkan haknya. Termasuk jika diminta untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Jika memang keputusan akhir di pengadilan menyebut TKD harus dikembalikan ke pemerintah desa dan bangunan di atasnya harus dirobohkan, TF meminta pengembalian uang yang telah ia keluarkan untuk membeli rumah di TKD tersebut.
"Misalnya pahitnya dirobohkan, ya kita minta restitusi (ganti rugi). Dari mana ya saya nggak tahu, mungkin dari (pengembang) sita aset, atau mungkin dari pejabat-pejabat yang lalai (membiarkan pembangunan rumah di TKD)," jelas TF.
"(Besarannya) sesuai dengan apa yang kita keluarkan, yang tertulis di SPI itu," tambahnya.
Simak Video "Tok! Eks Kadispertaru DIY Divonis 4 Tahun Bui di Kasus Mafia Tanah Kas Desa"
[Gambas:Video 20detik]
(aku/aku)