Ujian Surat Izin Mengemudi (SIM) di Indonesia mendapat sorotan dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hasil kajian ORI DIY menemukan fakta bahwa praktik ujian SIM saat ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
Pelaksanaan ujian SIM di Indonesia sebelumnya diatur dalam Perkap Nomor 9 Tahun 2012 tentang SIM. Belakangan, aturan ini telah dicabut dan digantikan Perpol Nomor 5 Tahun 2021.
Namun dalam pasal 18 Perpol Nomor 5 Tahun 2021 disebutkan bahwa materi yang pelaksanaan ujian praktik akan ditetapkan dengan keputusan Kakorlantas Polri. Namun hingga saat ini, keputusan Kakorlantas Polri terbaru yang mengatur materi yang diujikan dan ketentuan pelaksanaan ujian praktik SIM sebagai turunan dari Perpol No 5/2021 belum ada.
"Karena belum terbit (aturan baru) sehingga terjadi ketiadaan landasan hukum. Jadi praktik ujian SIM yang selama ini dilakukan itu dalam kondisi ketiadaan landasan hukum," ucap Ketua ORI DIY, Budi Masthuri saat dimintai konfirmasi wartawan, Kamis (4/5/2023).
Lantas apakah penerbitan SIM saat ini tidak sah? Budi menyebut bahwa hal ini hanya bisa diterjemahkan oleh pakar hukum. Pihaknya sebatas mendorong agar regulasi baru bisa segera diterbitkan dengan catatan perlu mempertimbangkan relevansi dengan kondisi terkini.
"Ya itu nanti diterjemahkan oleh pakar hukum, tapi intinya itu urgent, kemudian kami juga mendorong agar kalaupun akan dibuatkan regulasinya yang regulasi pengganti tentang materi dan model ujian praktiknya itu dengan mempertimbangkan relevansi kebutuhan sekarang. Serta filosofinya juga, kemudian juga fungsi ujian," ujarnya.
Revisi diperlukan lantaran ujian SIM di Indonesia telah usang. Pelaksanaan ujian hanya sebatas menguji skill pemohon dan mengesampingkan edukasi.
"Kalau kita lihat (ujian SIM) juga berfungsi untuk edukasi, menimbulkan kesadaran ketika dia punya SIM dia punya kesadaran seperti apa saat berlalu lintas dan lainnya, itu sangat penting. Karena kalau cuma dapat SIM saja dan dilatih untuk medan yang sulit saja nanti tidak sesuai kebutuhan karena yang berprofesi sebagai pembalap kan cuma sedikit," ujar Budi.
Budi mengatakan kajian ini juga mencakup efek dari ujian SIM yang dianggap terlalu sulit. Salah satunya soal kemunculan calo SIM.
ORI DIY telah melakukan wawancara terhadap 100 lebih pemohon SIM yang gagal. Di mana 50 persen di antaranya memutuskan untuk menggunakan calo.
"Karena ujian dirasa sulit oleh para pemohon, itu berkorelasi dengan adanya motivasi untuk menggunakan cara-cara lain yang tidak sah, seperti menggunakan pihak ketiga (calo). Dari pemohon yang gagal lebih dari 50 persen memutuskan untuk menggunakan alternatif itu," ucapnya.
Oleh karena itu, ORI DIY memberikan sejumlah rekomendasi kepada Polri salah satunya segera menerbitkan regulasi baru terkait ujian SIM. Kemudian juga mendesak Polri melakukan upaya pengawasan acak ke setiap Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (Satpas) didampingi oleh petugas eksternal seperti ORI DIY.
Simak tanggapan pihak kepolisian di halaman selanjutnya.
(aku/rih)