Sejumlah dosen UGM menolak pemberian gelar profesor kehormatan bagi kalangan nonakademik. Disebut UGM akan memberi gelar profesor kehormatan ke Perry Warjiyo yang kini menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI).
Penolakan itu tertuang dalam surat pernyataan sikap beberapa waktu lalu.
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Prof Sigit Riyanto menyebut gelar kehormatan itu akan diberikan kepada Perry Warjiyo. Diketahui Perry Warjiyo kini menjabat Gubernur BI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bisa konfirmasi juga ke Rektorat, Sekretaris SA dan Humas UGM. Bisa juga ke BI," kata Sigit kepada detikJateng, Jumat (17/2/2023).
Dalam tulisan yang dia bagikan soal profesor kehormatan, Sigit menjelaskan, bagi seorang dosen atau akademisi, jabatan profesor atau guru besar merupakan cita-cita, dan menjadi motivasi yang menyemangati dalam menjalani tugas dan profesinya.
"Posisi guru besar merupakan penanda puncak karir dan dedikasinya sebagai seorang dosen. Jalan Panjang dan berliku harus dilalui untuk menjadi guru besar," kata Sigit.
Di Indonesia, kata Sigit, untuk mencapai jenjang guru besar, seorang dosen perlu waktu puluhan tahun bekerja dan menghasilkan karya akademik. Selain itu, untuk mencapai jabatan profesor, seorang dosen harus memiliki gelar doktor atau setara dengan Pendidikan Tinggi Strata 3.
"Sesuai regulasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jabatan profesor dapat dicapai melalui dua cara, yakni; melalui jalur akademik bagi dosen, dan jalur lain bagi kalangan non-akademik," jelasnya.
Jalur pertama merujuk pada Permendikbud No 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen di mana seorang professor berprofesi sebagai dosen.
Aturan mutakhir jabatan profesor bagi kalangan nonakademik dirumuskan dalam Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.
Sebelumnya pengangkatan profesor tidak tetap merujuk pada Permendikbud No. 88 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap dalam Jabatan Akademik Pada Perguruan Tinggi Negeri.
Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 menegaskan kriteria bagi profesor kehormatan di antaranya: memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan, atau kompetensi yang setara dengan jenjang 9 (sembilan) pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia; memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa; memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional.
"Dalam beberapa pengangkatan profesor kehormatan; nampaknya mulai dianggap sebagai kelaziman dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia," ucapnya.
Sigit menyebut ada kekhawatiran bahwa hal itu dilakukan secara subjektif, sesuai kepentingan para pihak yang terlibat di dalamnya.
"Pengangkatan profesor kehormatan tersebut dikhawatirkan, didasari oleh relasi transaksional, tekanan, atau kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan misi fundamental pendidikan tinggi," bebernya.
"Jika hal ini yang terjadi maka patut diduga ada upaya 'transaksi jabatan akademik profesor' dengan mengabaikan norma, etika, dan standar mutu akademik yang sahih dan otentik. Suatu formalisasi dan rekognisi terhadap capaian akademik semu, tidak orisinal, dan tidak 'genuine'," sambungnya.
Diskriminatif
Pengangkatan profesor kehormatan karena adanya kepentingan pragmatis individu atau kelompok, dapat dianggap diskriminatif, mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan, bahkan mengkhianati dedikasi para dosen yang berjuang keras dengan berbagai upaya untuk menjadi guru besar. Kebijakan semacam itu, dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi.
"Kepercayaan dosen terhadap martabat profesi serta institusinya tergerus, tata kelola Pendidikan Tinggi tak bisa diandalkan dan tak memberi harapan. Semangat pengabdian dan dedikasi terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik dan intelektual merosot," katanya.
Dia melanjutkan, pengangkatan profesor kehormatan yang tak berkontribusi pada pencapaian misi utama perguruan tinggi, justru merendahkan martabat dan reputasi, merusak ekosistem, dan tata kelola. Tanpa komitmen untuk merawat dan mempertahankan intelektualitas, nilai-nilai etis, dan integritas akademik, institusi pendidikan tinggi akan terperosok pada praktik kumuh dan pembusukan institusional.
"Situasi semacam itu juga menguatkan asumsi bahwa di lingkungan perguruan tinggi pun intelektualitas seringkali dikalahkan oleh pragmatisme dan private interest," bebernya.
"Implikasi lebih jauh adalah rusaknya tata kelola, menurunnya standar proses dan mutu akademik, sehingga perguruan tinggi makin tidak kompetitif, bahkan pendidikan dan pengembangan ilmu mengalami involusi karena rusaknya tradisi dan etos keilmuan. Mutu dan martabat perguruan tinggi di Indonesia dipertaruhkan," tegasnya.
Kata pihak UGM soal pemberian gelar kehormatan ke Gubernur BI Perry Warjiyo, di halaman berikutnya....
Sementara itu, Ketua Tim Kajian Regulasi Profesor Kehormatan UGM yang juga dosen Departemen Hukum Tata Negara UGM Dr. Andi Sandi Antonius, saat dimintai konfirmasi soal proses pemberian gelar kehormatan ke Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan tidak mengetahui secara detail. Namun, dia menyatakan bahwa sudah ada pembicaraan di Senat Akademik UGM.
"Untuk prosesnya secara pasti saya tidak tahu. Saya hanya mendengar prosesnya waktu untuk sudah dibicarakan di Senat Akademik UGM," kata Andi kepada wartawan hari ini.
"Namun bagaimana kelanjutannya, saya pribadi dan sebagai ketua tim kajian regulasi profesor kehormatan tidak mengetahuinya secara pasti," jelasnya.
Sampai saat ini UGM tengah melakukan kajian akademik terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.
"Sampai saat ini dalam tim masih mengerjakan landasan filosofis, sosiologis, yuridis dan kebijakan publik. Belum semua anggota Tim memberikan hasil pemikirannya. Yang baru masuk lebih pada landasan filosofi dan yuridis. Sedangkan yang kebijakan publik dan sosiologi belum," jelasnya.
Lebih lanjut, saat ditanya soal nama yang diusulkan untuk mendapatkan gelar profesor kehormatan selain Gubernur BI, Andi mengaku tak mengetahui secara pasti.
"Itu yang saya juga tidak tahu," pungkasnya.