Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melakukan uji coba teknologi pertanian padi apung dengan menggunakan rakit bambu di Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul. Teknologi ini disebut bisa mengantisipasi terkikisnya lahan produktif, bagaimana caranya?
Rektor UMY Prof. Gunawan Budiyanto mengatakan setiap tahun tercatat ada 1.400 hektare lahan subur atau produktif yang hilang di Pulau Jawa. Menurutnya hal tersebut membuat petani harus mencari alternatif lahan yang lain.
"Nah, kebetulan yang paling banyak tersedia itu kan lahan marjinal, lahan yang tidak subur. Salah satu jenis lahan marjinal atau kurang subur adalah lahan gambut, yang cirinya selalu dalam kondisi tergenang dan salah satunya dipengaruhi air laut dan air sungai," kata Gunawan kepada wartawan di Kasihan, Bantul, Rabu (4/1/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila menanam padi di lahan gambut, Gunawan menyebut harus menggunakan cara khusus. Sebab, jika menanam padi dengan cara biasa di lahan gambut hanya akan berujung tenggelam sebelum dipanen.
"Jadi kalau menanam padi di lahan gambut posisi padi harus terapung ke atas. Karena itu ada beberapa peneliti agroteknologi UMY melakukan penelitian di kawasan rawa-rawa selama dua tahun," ucapnya.
Hasilnya, tim tersebut berhasil menerapkan teknologi padi apung dengan sistem konvensional dan ramah lingkungan. Bahkan hal tersebut telah dipraktikkan di Kalimantan Timur.
"Ternyata, teknologi pertanian padi apung sangat efektif untuk memanfaatkan lahan gambut, bahkan bisa menjadi salah satu cara ketahanan pangan," jelasnya.
Cara Tanam Padi Apung
Terkait cara menanam padi dengan sistem apung, dosen program studi Agroteknologi UMY Mulyono menjelaskan kunci dari teknologi padi apung adalah pada media tanam.
"Jadi kalau mau menanam padi sistem apung kuncinya di medianya ya. Jadi saya sudah mencoba berbagai macam media, bisa serbuk gergaji, kotoran walet, hingga rumput kiambang," ujarnya.
"Itu kita komposkan campur kotoran walet, agar mudah terurai kita tambahi serbuk gergaji. Jadi media tanam dari sumber lokal semua, itu yang kita coba di Kaltim," imbuh Mulyono.
Baca juga: Daftar 37 Guru Besar Baru di UGM Selama 2022 |
Sedangkan di Bantul, Mulyono berinovasi untuk membuat media tanam baru. Di mana media itu berbahan baku limbah bulu ayam.
"Ini tadi saya buat prototipe media lain apa, dan saya coba pakai kompos limbah bulu ayam yang saya campur dengan serbuk gergaji. Untuk media itu ternyata dari menanam sampai panen itu tidak ada pupuk lainnya dan ternyata terbukti sampai panen lho," ujarnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Mulyono juga menjelaskan bagaimana membuat kompos untuk media tanam teknologi padi apung. Menurutnya, proses pembuatan kompos cukup mudah namun memakan waktu sekitar satu bulan hingga jadi.
"Jadi kita cacah rumputnya itu (kiambang) dan kita campur tiga bahan tadi seperti serbuk gergaji hingga kotoran walet. Kemudian diberi gula atau tetes tebu untuk mengaktifkan bakterinya," ucapnya.
"Setelah itu, kita tumpuk ditutup di tempat yang teduh. Kemudian seminggu kita aduk, dua kali pengadukan setelah dua kali dibiarkan sampai dingin dan sudah jadi kompos," lanjut Mulyono.
Selanjutnya, Mulyono menyarankan untuk menggunakan rakit berbahan bambu sebagai tempat padi apung. Untuk uji coba di Bantul, Mulyono menggunakan rakit berukuran 1,5x4 meter dan varietas padinya IR64 atau rojo lele.
"Lalu kita pakai botol plastik langsung diisi kompos yang campur tanah, takarannya satu banding satu. Jadi misal satu ember tanah dengan satu ember kompos campur, masukkan ke pot langsung kita beli bibit usia 10 hari," paparnya.
Semua cara itu, kata Mulyono, untuk menekan biaya. Mengingat saat ini teknologi padi apung masih terbilang mahal namun memiliki jangka panjang yang lebih baik.
"Kalau dari biaya itu tergantung lokasi ya, kalau lokasinya banyak bambu ya bisa murah, karena nanti bambunya dibuat menjadi rakit yang mengapungkan tanaman padi. Memang sudah ada yang pakai pipa itu, tapi kita utamakan kearifan lokal, seperti rakit pakai bambu," ujarnya.
Sedangkan untuk masalah air, Mulyono menyebut tidak terlalu rumit. Pasalnya tanaman padi masih bisa tahan pada air dengan kadar Ph 5,5.
"Jadi kalau sementara lebih mahal ini kalau jangka pendek, tapi selanjutnya hanya modal media dan bibit saja. Seperti solar cell, awalnya yang mahal dan tahun kedua, ketiga sampai 30 solar cell sangat murah," ucapnya.
Apalagi, kata Mulyono, teknologi padi apung membantu menjernihkan air di lahan gambut. Selain itu, penanaman padi dengan teknologi tersebut tidak memicu pendangkalan pada rawa.
"Tidak ada efek pendangkalan rawa, malah efek akar dari tanaman padi menjerat lumpurnya. Sehingga dengan padi apung ini malah bisa menjernihkan air," imbuhnya.