Sejarah SMAN 3 Jogja, Berdiri Sejak Zaman Belanda-Jadi Cagar Budaya

Sejarah SMAN 3 Jogja, Berdiri Sejak Zaman Belanda-Jadi Cagar Budaya

Heri Susanto - detikJateng
Sabtu, 17 Sep 2022 16:14 WIB
SMAN 3 Jogja atau kerap disebut Padmanaba.
SMAN 3 Jogja atau kerap disebut Padmanaba. Foto: Heri Susanto/detikJateng
Jogja -

Kota Jogja seakan tak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia. Banyak bangunan peninggalan bersejarah yang kini menjadi cagar budaya, salah satunya adalah SMAN 3 Jogja atau kerap disebut Padmanaba.

Sekolah yang berada di Jalan Yos Sudarso No 7, Kotabaru, ini berdiri pada 5 Juli 1918. Kepala SMAN 3 Jogja Kusworo menjelaskan, saat zaman Belanda, sekolah ini bernama AMS (Algemeene Middelbare School) afdeeling Bagian B atau jurusan ilmu pasti.

"Kalau dari sejarahnya, setelah menjadi AMS afdeeling, ada pendudukan Jepang. Nah, pada 18 September 1942, diresmikan sebagai Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Padmanaba," kata Kusworo saat ditemui wartawan di SMAN 3 Jogja, Jumat (16/9/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengungkapkan, karena berdiri sejak zaman penjajahan, sekolah ini pun sempat mengalami penutupan. Seperti tahun 1948 kala Belanda menduduki ibu kota Jogja. Sekolah ini pernah ditutup dan baru dibuka kembali tahun 1949.

"Sejak awal sekolah ini berdiri memang mayoritas pribumi," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Sebagai sekolah yang berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka, kata Kusworo, banyak lulusan sekolah ini yang pernah mengisi jabatan penting di Republik ini. Seperti pahlawan nasional Muhammad Yamin, Soemantri Brodjonegoro, sampai yang saat ini masih aktif, pakar virus Prof Zubairi Djoerban, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Prof Zuhdan Arif Fakhrullah.

"Masih banyak lagi profesional yang terus berkiprah untuk negeri dari sekolah ini," kata Kusworo.

Ia mengungkapkan, ada satu keunggulan di sekolah tersebut yang membuat siswa termotivasi untuk berprestasi. Yaitu ikatan alumni dengan sekolah yang masih sangat kuat.

Prof Zuhdan yang menjadi Ketua Lustrum 16 Padmanaba mengungkapkan, ada tradisi di sekolah tersebut yakni sebagai alumni harus kembali masuk sekolah.

"Masuk sekolah untuk memberikan motivasi dan inspirasi kepada adik-adik ini untuk berprestasi," jelasnya.

Tak hanya sekadar menggelar acara, Zuhdan mengatakan, alumni SMAN 3 Jogja juga membangunkan sebuah gedung tujuh lantai senilai Rp 17 miliar.

"Gedung ini merupakan wujud dari keinginan alumni untuk menjaga cagar budaya yang ditetapkan untuk bangunan di SMAN 3 Jogja ini," jelasnya.

Ketua I Keluarga Besar Alumni SMAN 3 Jogja Triyanto menambahkan, bangunan tujuh lantai tersebut berdiri terpisah dari cagar budaya yang ditetapkan. Terdiri ruangan untuk kegiatan siswa di antaranya laboratorium bahasa, biologi, dan ruang untuk pentas.

Cagar Budaya

Sementara itu dikutip dari website BPCB DIY, bangunan SMAN 3 Jogja sejak zaman Belanda digunakan untuk Algemeene Middelbare School (AMS) afdeling B. AMS merupakan sekolah menengah yang lebih tinggi dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan didirikan pada tahun 1919.

Pada masa pendudukan tentara Jepang Dai Nippon sekolah ini dinamai Sekolah Menengah Tinggi (SMT). Sekolah ini terbagi menjadi dua bagian yaitu A (ilmu kebudayaan) dan B (ilmu alam).

Selengkapnya di halaman selanjutnya...

Pelajaran yang diberikan kepada para murid diatur dan diawasi oleh Dai Nippon. Hal ini menyebabkan guru dan murid yang sebagian besar orang Indonesia merasa tertekan batinnya. Akibatnya, guru dan murid bersatu untuk memerangi tekanan dengan cara membentuk wadah padmanaba pada 19 September 1942.

Oleh karena siswa SMT bagian A dan B makin banyak, maka pada 1946/1947 sekolah ini dipisah, bagian A berada di Jalan Pakem, sedangkan bagian B berada di Jalan Jati Kotabaru. Pada masa Agresi Militer I tanggal 21 Juli 1947 sekolah ini libur besar selama 3 bulan karena bangunannya dijadikan markas pejuang. Setelah Agresi Militer I berakhir, sekolah ini kebanjiran murid sehingga dibuka sekolah darurat dan sekolah pejuang pada tahun ajaran 1947/1948.

Pada masa Agresi Militer II tanggal 19-20 Desember 1948, sekolah SMA 3 Yogyakarta digunakan Belanda untuk markas tentaranya. Pada masa ini sekolah ditutup kembali dan banyak anggota Padmanaba ikut mengangkat senjata, bergabung dalam TP (Tentara Pelajar). Banyak di antara mereka yang gugur saat terjadi pertempuran di Kotabaru, antara lain Faridan M Noto, Suroto, Kunto, Sudiarto, Joko Pranoto, Jumerut, Kunarso, Suryadi, dan Purnomo. Pada 1956, SMA ini berubah nama menjadi SMA IIIB dan 1964 berubah menjadi SMA Negeri 3 Yogyakarta.

SMAN 3 Jogja atau kerap disebut Padmanaba.SMAN 3 Jogja atau kerap disebut Padmanaba. Foto: Heri Susanto/detikJateng

Denah bangunan utama berjajar dua yaitu utara dan selatan. Di antara jajaran bangunan terdapat halaman yang cukup luas sebagai lapangan upacara. Sebagian besar bangunan utama digunakan sebagai kelas. Di samping itu di sisi timur dan barat bangunan utama terdapat bangunan pelengkap sarana pendidikan seperti laboratorium, ruang olahraga, dan tempat parkir. Di sebelah barat bangunan utama terdapat lapangan sepak bola sebagai fasilitas olahraga.

Secara arsitektural, bangunan-bangunan yang berada SMA Negeri 3 Yogyakarta mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: bangunannya tinggi, besar, mempunyai halaman luas, jendela dan pintu besar dengan krepyak langit-langit tinggi, mempunyai roster pada dinding-dindingnya. Bagian muka bangunan utama mempunyai bentuk tiang dengan gaya Yunani/ Romawi. Beberapa bangunannya telah mengalami perbaikan dan penambahan bangunan.

Bangunan SMA Negeri 3 Yogyakarta terletak di Jalan Yos Sudarso No. 7 Yogyakarta. Bangunan ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia No. PM.07/PW.007/MKP/2010.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Anugerah Program Pendidikan Unggul"
[Gambas:Video 20detik]
(rih/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads