Sidang perdana kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk kawasan industri di Kabupaten Cilacap digelar di Pengadilan Tipikor Semarang hari ini. Ada tiga terdakwa dalam kasus yang disebut merugikan negara Rp 237,94 miliar ini, salah satunya Eks Sekda Cilacap Awaluddin Muuri.
Terdakwa lainnya yaitu Eks Kabag Perekonomian Setda Cilacap Iskandar Zulkarnain dan mantan Direktur PT Rumpun Sari Antan (RSA) Andhi Nur Huda. Sidang ini diketuai Majelis Hakim Kukuh Kalinggo Yuwono.
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum (JPU) Teguh menyebut perkara bermula dari penawaran tanah Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) yang berada di Desa Caruy, Cilacap. Tanah seluas ratusan hektare itu ditawarkan ke Pemkab Cilacap pada 2019 untuk mendukung rencana pembangunan kawasan industri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Para terdakwa diduga bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan tanah tersebut, hingga menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 237,94 miliar," kata jaksa di Pengadilan Tipikor Semarang, Jumat (3/10/2025).
Jaksa menyebut, para terdakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri. Andhi disebut menerima Rp 230 miliar, Iskandar menerima Rp 4,3 miliar, dan Awaluddin menerima Rp 1,8 miliar.
Jaksa menjelaskan, mulanya Andhi Nur Huda sebagai Direktur PT RSA menawarkan tanah HGU di Desa Caruy, Kecamatan Cipari, kepada Pemkab Cilacap. Lahan itu disebut cocok untuk kawasan industri dan bisa mendukung program pembangunan strategis daerah.
"Terdakwa Andhi Nur Huda berencana akan memberikan sejumlah uang kepada para pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap apabila tanah HGU Caruy dibeli oleh Perumda Kawasan Industri Cilacap," jelasnya.
Penawaran itu kemudian ditindaklanjuti oleh Awaluddin Muuri selaku Sekda dan Iskandar Zulkarnain yang saat itu menjabat Kabag Perekonomian. Pembahasan pun dilakukan, tetapi sempat terkendala karena tanah tersebut berupa lahan perkebunan.
"Berdasarkan hasil koordinasi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa Perumda Kawasan Industri Cilacap (KIC) tidak dapat melakukan pengadaan tanah HGU Caruy karena tanah tersebut berupa lahan perkebunan, sedangkan core business Perumda Kawasan Industri Cilacap tidak mencakup bidang usaha perkebunan," ucap jaksa.
Awaluddin kemudian mengarahkan agar Perumda KIC bersama Bagian Perekonomian dan Sumber Daya Alam menyusun Raperda perubahan Perumda KIC menjadi Perseroda agar memiliki kewenangan melakukan bisnis di bidang perkebunan dan pertanian. Oleh karenanya, pembelian tanah PT RSA bisa dimasukkan sebagai bagian dari pengembangan kawasan industri.
Setelah melewati proses panjang dan keluar dari prosedur normal, akhirnya PT Perumda KIC dibekukan dan muncullah PT Cilacap Segara Artha (Perseroda) sebagai penggantinya. Namun, Awaluddin dan Iskandar tak segera menindaklanjutinya.
"Iskandar dan Zulkarnain terlebih dahulu melanjutkan rencana kerjasama dengan Andhi dan membuat kesepakatan pembelian tanah sesuai rencana awal, agar memperoleh pembagian uang dari hasil kerja sama tersebut, dengan menggunakan Perumda Kawasan Industri Cilacap yang sudah dibekukan," kata jaksa.
Meski status tanah masih bermasalah, para pejabat Pemkab disebut tetap memproses pembelian. Bahkan, pembayaran uang ratusan miliar rupiah dilakukan secara bertahap kepada PT RSA meski syarat hukum dan administrasi belum dipenuhi.
"Disepakati bahwa harga pembelian tanah sebesar Rp 34.500 per meter persegi seluas 300 hektare sehingga total harga tanah sebesar Rp 103 miliar dan Andhi mengalokasikan untuk fee pejabat Pemda Cilacap sebesar Rp 11,5 miliar," paparnya.
Oktober 2023, Andhi kembali menawarkan tanah HGU kepada Pemkab Cilacap dan dibayar PT Cilacap Segara Artha Rp 31,6 miliar atas hak atas tanah seluas 107 hektare tanpa appraisal atau penilaian.
Desember 2023, Andhi juga menawarkan tanah HGU seluas 309 hektare seharga Rp 110 miliar kepada Pemkab Cilacap dan kembali disetujui Awaluddin.
Total nilai pembayaran mencapai Rp 237,9 miliar meskipun appraisal tanah tidak dilakukan sesuai aturan dan legalitas lahan belum jelas. Pembayaran dilakukan secara bertahap beberapa termin.
"Setelah pembayaran termin I, Iskandar menyuruh untuk menggabungkan hasil studi kelayakan tanah seluas 300 hektare, 107 hektare, dan 309 hektare menjadi satu laporan seolah-olah hasil studi kelayakan tersebut telah tersusun pada tahun 2022," ujar jaksa.
Namun, setelah pembayaran dilakukan, lahan yang dibeli tidak pernah bisa dimanfaatkan. Dalam dakwaan jaksa, diketahui bahwa tanah tersebut ternyata masih berstatus tanah negara dan berada dalam penguasaan Kodam IV Diponegoro.
"Meskipun PT CSA telah membayar Rp 237 miliar, namun sampai saat ini PT CSA tidak dapat menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut karena terdapat keberatan dari Pangdam IV Diponegoro selaku Ketua Pembina Yayasan Rumpun Diponegoro," kata jaksa.
"Karena tanah tersebut adalah tanah negara dari rampasan perang Kodam IV Diponegoro eks okupasi Belanda atau Jepang dan berafiliasi dengan G 30 S/PKI yang perolehannya dari rampasan perang pada tahun 1965, sehingga saat ini tanah-tanah tersebut dikuasai oleh Kodam IV Diponegoro yang dikelola oleh Yayasan Rumpun Diponegoro," lanjutnya.
Artinya, Pemkab Cilacap membayar ratusan miliar untuk lahan yang sejatinya tidak bisa dialihkan kepemilikannya. Kondisi ini membuat proyek kawasan industri gagal total dan uang negara lenyap.
Atas perbuatannya, terdakwa Awaluddin dan Iskandar dijerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 12B Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan terdakwa Andhi Nur Huda dijerat Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 atau Pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Awaluddin pun mengajukan eksepsi atau keberatan. Sementara Iskandar dan Andhi menyatakan tidak mengajukan keberatan.
(dil/apl)