Alwin Basri, suami mantan Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, divonis hakim dengan hukuman 7 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemkot Semarang. Majelis Hakim mempertimbangkan rekam jejak Alwin yang pernah meraih penghargaan sebagai pertimbangan meringankan.
Putusan tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat. Alwin dinilai terbukti menerima suap, gratifikasi, dan pemotongan insentif ASN Pemkot Semarang bersama istrinya, Mbak Ita.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa II Alwin Basri dengan pidana penjara selama 7 tahun dan denda sejumlah Rp 300 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan," kata Gatot dalam amar putusannya, Rabu (27/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Alwin diwajibkan membayar uang pengganti Rp 4 miliar akibat perbuatannya. Jika tidak dibayar dalam sebulan setelah putusan inkrah, diganti kurungan 1 bulan.
"Menghukum terdakwa II Alwin Basri untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 4 miliar paling lama dalam kurun waktu 1 bulan," lanjutnya.
Hakim menyebut ada hal yang memberatkan, yaitu Alwin tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Namun, ada sejumlah hal yang meringankan.
"Para terdakwa belum pernah dihukum, para terdakwa koperatif dalam persidangan, para terdakwa berlaku sopan di persidangan, para terdakwa jujur dan mengakui perbuatannya, para terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya, para terdakwa mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga," urainya.
"Terdakwa II telah mendapatkan beberapa penghargaan legislatif dan kegiatan sosial lainnya," lanjut Gatot.
Hakim juga menimbang usia Alwin yang kini menginjak 61 tahun dan masuk kategori lansia menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dengan pertimbangan itu, hakim menilai Alwin kecil kemungkinan mengulangi perbuatannya sehingga tak mencabut hak dipilihnya.
"Kedua terdakwa memasuki usia lansia dan para terdakwa adalah orang yang berpendidikan sehingga Majelis Hakim berkeyakinan para terdakwa tidak akan mengulangi perbuatan yang tercela dan kejadian ini dapat dijadikan pembelajaran bagi para terdakwa," tuturnya.
"Sehingga Majelis Hakim dengan mendasarkan rasa keadilan dan kepatuhan para terdakwa tidak perlu dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana," lanjutnya.
Dalam sidang, Alwin tampak datar dan tak bereaksi apa pun saat putusan dibacakan hakim. Usai sidang, Alwin dan Ita langsung bergegas keluar ruang sidang tanpa berkomentar.
Sebelumnya diberitakan, jaksa penuntut umum dari KPK menuntut mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu (Ita), dengan hukuman penjara 6 tahun penjara terkait kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa Pemkot Semarang.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 2, Alwin Basri dengan pidana penjara selama 8 tahun serta pidana denda sejumlah Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan," kata JPU KPK, Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (30/7/2025).
Diketahui, pada dakwaan pertama Hevearita dan Alwin Basri didakwa menerima suap Rp 2 miliar dari proyek pengadaan barang dan jasa yang diberikan oleh Direktur PT Chimader 777, Martono dan Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa, Rachmat Utama Djangkar. Peristiwa itu terjadi dalam periode akhir 2022 hingga 2023.
Pada dakwaan kedua, Mbak Ita dan Alwin didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri yang bersumber dari insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan bagi pegawai ASN Pemkot Semarang.
Keduanya disebut menerima total Rp 3 miliar. Kemudian dalam dakwaan ketiga, terdakwa Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi dengan total Rp 2,24 miliar, yang juga diterima terdakwa Martono (kontraktor).
Uang tersebut merupakan pekerjaan proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang yang dilakukan melalui penunjukan langsung.
Kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
(rih/dil)