Pengakuan Alumni PPDS Undip soal Biaya Sekitar Rp 100 Juta di Luar SPP

Pengakuan Alumni PPDS Undip soal Biaya Sekitar Rp 100 Juta di Luar SPP

Tim detikJateng - detikJateng
Kamis, 21 Agu 2025 19:44 WIB
Saksi meringankan untuk terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Zara Yupita Azra dalam sidang pemeriksaan saksi kasus PPDS Anestesi Undip, di PN Semarang, Kota Semarang, Rabu (20/7/2025).
Saksi meringankan untuk terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Zara Yupita Azra dalam sidang pemeriksaan saksi kasus PPDS Anestesi Undip, di PN Semarang, Kota Semarang, Rabu (20/7/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Solo -

Dua alumni Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) dihadirkan jadi saksi meringankan dalam sidang kasus perundungan dan pemerasan PPDS Anestesi Undip. Salah satu alumnus sempat mengungkap ada biaya lain sekitar Rp 100 juta di luar SPP.

Harsono, alumnus angkatan angkatan 2014, mengaku sudah mendapat informasi soal biaya itu. Ia merinci Rp 50 juta untuk kebutuhan ilmiah dan Rp 30 juta diperuntukkan bagi kepentingan angkatan.

"Jadi sebelum saya mendaftar, sudah dijelaskan bahwa ada biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 100 juta. Itu sudah dijelaskan di awal, banyak yang akan keluar di situ termasuk untuk biaya hidup maupun untuk nonpendidikan. (Di luar SPP?) Iya," tuturnya dalam sidang di Pengadilan Negeri Semarang di Kecamatan Semarang Barat, Rabu (20/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebelum daftar, dijelaskan biaya butuh sekitar Rp 100 juta, pas masuk total Rp 80 juta, Rp 50 juta untuk ilmiah, Rp 30 juta untuk angkatan, misal kendaraan, operasional termasuk makan prolong," lanjut Harsono.

ADVERTISEMENT

Harsono melanjutkan, kabar itu disampaikan residen semester satu sebelum dia dinyatakan lulus.

"Setelah tes tertulis terus dinyatakan lulus, saya dipanggil senior diceritakan kerjaannya dan beban kerjanya, kalau tidak mau lanjut silakan, kalau mau lanjut besok wawancara," ucap dia.

Peruntukan Biaya

Harsono menerangkan, dana itu diserahkan kepada bendahara angkatan selama satu semester. Ia membayarnya dengan cara dicicil, sekaligus menjabarkan kegunaannya.

"Pertama saya bayar Rp 40 juta, terus Rp 20 juta, dan Rp 20 juta. Untuk kepentingan ujian, misalnya ketika saya tes di Medan dan Bandung, biaya tiket saya minta ke bendahara terus d-ireimburse, termasuk juga untuk akomodasi," kata dia.

Harsono juga menyebut ada pengembalian uang sekitar Rp 10-13 juta di sekitar semester tiga. Dia juga mengatakan bahwa tidak pernah ada perintah mengumpulkan uang dari Sri Maryani.

"Bu Sri Maryani sudah di administrasi, yang saya pahami Bu Mar itu perwakilan Undip di Kariadi. Jadi semua ujian, ilmiah, pasti lewat beliau," ujarnya.

Senada dengan Harsono, Sony, alumni PPDS Anestesi Undip angkatan 2010, juga mengungkapkan soal kewajiban iuran di luar SPP tersebut.

"Waktu itu disebutkan Rp 50 juta di awal dan di tengah jalan kurang, kita diminta iuran lagi Rp 10 juta di semester satu," paparnya.

Sony menyebut informasi terkait tambahan biaya di luar SPP resmi itu dari kakak tingkat dan ia tak mengetahui detail penggunaannya. Dia bilang, terdakwa Sri Maryani selaku staf administrasi tak pernah meminta untuk mengumpulkan uang tersebut.

"Uang yang mengelola bendahara angkatan, dilaporkan ke bendahara residen. Dulu saya menganggap uang Rp 50 juta itu uang gedung. Kalau yang dibayar lewat bank dengan struk, Rp 10 juta per semester, sampai semester 8. Saat itu belum ada SPI," ujarnya.

Harsono dan Sony dihadirkan sebagai saksi yang meringankan bagi tiga terdakwa Taufik Eko Nugroho, Zara Yupita Azra, dan Sri Maryani.

Diketahui, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Sri Maryani dan Taufik Eko Nugroho yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.




(apu/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads