Sri Maryani, terdakwa kasus perundungan PPDS Undip di RS Kariadi menghadirkan mantan atasannya sebagai saksi meringankan. Saksi yakin Sri Maryani hanya bekerja atas instruksi. Dia juga mengaku tak tahu soal adanya pungutan di luar SPP.
Saksi tersebut ialah mantan pegawai FK Undip, Susilo yang kini bertugas di bagian laboratorim. Susilo pernah menjadi atasan Sri Maryani sebagai staf akademik di Prodi Anestesi FK Undip.
Untuk diketahui, dalam kasus ini Sri Maryani yang merupakan staf admnistrasi Prodi Anestesi Undip didakwa melakukan pemerasan karena menarik iuran biaya operasional pendidikan (BOP) Rp 80 juta per mahasiswa yang ternyata illegal. Sri Maryani menjadi terdakwa bersama Kaprodi PPDS Anestesi dr Taufik Eko Nugroho.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saksi Susilo mengaku mengenal Sri Maryani sejak Oktober 2021 saat bekerja di Program Studi Anestesi. Maryani saat itu bertugas sebagai administrasi akademik di RSUP Dr Kariadi.
"Secara struktural, Maryani di bawah saya. Tugasnya di bidang akademik, seperti mengingatkan mahasiswa membayar SPP, mengurus KRS, melaporkan perkembangan studi mahasiswa," kata Susilo saat ditanya Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi, Rabu (13/8/2025).
Saat ditanya penasihat hukum, ia menyebut Maryani tidak memiliki kewenangan terkait urusan keuangan. Ia disebut hanya melakukan segalanya atas arahan dari pimpinannya.
"Kalau di bidang akademik, Maryani atas instruksi saya. Selain akademik sudah di wilayahnya kaprodi. Di prodi, atasannya Maryani adalah dr Taufik," ungkapnya.
"Kalau pegawai administrasi tidak punya kewenangan apapun, hanya berdasarkan instruksi," lanjutnya.
Susilo menambahkan, selama 2021-2024, penilaian kinerja (DP3) Maryani selalu berada di kategori 'baik sekali'. Ia juga menilai Maryani memberi teladan baik secara agama maupun perilaku.
![]() |
"Kinerjanya saya yang menilai, dari 2021-2024 Maryani DP3-nya kalau PNS itu 'baik sekali'. Di luar akademik saya tidak melakukan penilaian. kalau kaprodi tidak punya kewenangan untuk menilai. Kaprodi punya kewenangan untuk menugaskan," ungkapnya.
Dalam sidang kasus pemerasan yang menewaskan mahasiswa PPDS, dr Aulia Risma itu, Susilo juga mengaku tidak tahu jika Maryani pernah mengumpulkan pembayaran ujian untuk para residen. Maryani juga disebut tak pernah curhat kepadanya terkait pekerjaannya di administrasi.
"Selain SPP saya tidak tahu. Kalau biaya ujian tidak tahu. Akademik tidak termasuk bagian itu. Pemberitahuan ujian itu dokter yang mengurusi, kalau admin tidak bisa," katanya.
Susilo juga mengungkap pernah bertemu ibu almarhum dr Aulia Risma, saat Aulia meminta surat keterangan aktif kuliah. Karena surat tak bisa diperoleh dalam waktu sehari, ibu mendian Aulia disebut mengurus surat keterangan aktif Aulia.
"Memang pernah minta surat keterangan aktif untuk laporan ke instansinya, tapi minta satu hari udah selesai," ungkapnya.
"Kan ada prosesnya, minta tanda tangan pimpinan dan sebagainya nggak bisa satu hari, katanya yang ngurus ibu saya. Terus ibunya ketemu saya, akhirnya diberikan," lanjutnya.
Saat diberi kesempatan Hakim Gatot untuk menambahkan keterangan, Susilo kembali menegaskan bahwa Sri Maryani berperilaku baik.
"Saudara Maryani dari segi agama memberi contoh yang baik, terhadap penilaian pun tidak ada masalah dan berkelakuan baik dalam DP3-nya," tutupnya.
Sri Maryani pun membenarkan seluruh keterangan Susilo yang disampaikan di persidangan tersebut.
Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Sri Maryani dan Taufik Eko Nugroho yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia disidang secara terpisah. Dia didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.
(afn/ahr)