Jaksa Tepis Pleidoi Mbak Ita dan Suami, Minta Hakim Vonis Sesuai Tuntutan

Jaksa Tepis Pleidoi Mbak Ita dan Suami, Minta Hakim Vonis Sesuai Tuntutan

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Senin, 11 Agu 2025 13:13 WIB
Jaksa KPK saat membacakan replik di persidangan kasus korupsi dengan terdakwa eks Walkot Semarang Hevearita G Rahayu dan suaminya, Alwin Basri di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (11/7/2025).
Jaksa KPK saat membacakan replik di persidangan kasus korupsi dengan terdakwa eks Walkot Semarang Hevearita G Rahayu dan suaminya, Alwin Basri di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (11/7/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi nota pembelaan (pleidoi) Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu dan suaminya, Alwin Basri. Jaksa menepis semua pembelaan Ita dan Alwin dalam pledoinya.

Sidang dengan agenda replik itu dilaksanakan di Pengadilan Tipikor Semarang. JPU Amir Nurudin meminta majelis hakim menjatuhkan vonis sesuai tuntutam yakni Ita 6 tahun penjara dan untuk Alwin 8 tahun penjara

"Kami penuntut umum memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk menjatuhkan keputusan sebagaimana tuntutan pidana oleh penuntut umum," kata Amir saat membaca repliknya di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (11/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menanggapi pembelaan Alwin yang menyebut dirinya buka representasi Ita, Amir menyebut, dalil pembelaan yang membedakan kedudukan Mbak Ita sebagai Wali Kota dan Alwin sebagai anggota DPRD Jateng tidak relevan. Meski Alwin bukan kepala daerah, perannya dalam perkara ini memenuhi unsur 'turut serta' sebagaimana diatur Pasal 55 KUHP.

"Argumentasi penasihat hukum terdakwa merupakan dalih yang tidak melihat fakta hukum secara menyeluruh sebagaimana fakta di persidangan," urainya.

ADVERTISEMENT

Ia memaparkan bukti-bukti di persidangan yang menunjukkan Alwin menjadi representasi istrinya dalam mengatur proyek pengadaan barang dan jasa di Pemkot Semarang.

Salah satunya terkait pengadaan meja dan kursi publikasi SD senilai Rp 20 miliar di APBD Perubahan 2023. Amir menyebut, permintaan itu disampaikan Alwin kepada sejumlah pejabat, lalu dilaporkan kepada Ita.

"Terdakwa 1 selaku Wali Kota Semarang yang memiliki kewenangan mengajukan usulan perubahan atau penambahan anggaran pada APBDP Kota Semarang, tetap menyetujui usulan anggaran pengadaan media kursi publikasi SD sebesar Rp 20 miliar," ujarnya.

Jaksa Yakin Mbak Ita Minta Iuran Kebersamaan

Selain itu, JPU juga menanggapi bantahan Mbak Ita soal penerimaan uang iuran kebersamaan dari pegawai Bapenda Kota Semarang. Menurutnya, keterangan saksi dan bukti yang terungkap menunjukkan permintaan uang tersebut berasal dari Ita.

"Terdakwa 1 meminta nominal uang iuran kebersamaan sebesar Rp 300 juta dengan menuliskannya pada secarik kertas HVS," ungkapnya.

Ia menyebut Ita yang berdalih pemberian uang iuran Bapenda itu murni berasal dari Kepala Bapenda Kota Semarang, Indriyasari adalah halusinasi dan mengada-ada.

"Karena berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan tidak pernah ada saksi maupun fakta hukum yang mengungkapkan adanya perencanaan pemberian iuran kebersamaan terdakwa 1 sejak awal Desember 2022," tuturnya.

JPU juga menilai pengembalian sebagian uang kepada Indriyasari pada Januari 2024 dilakukan karena terdakwa mengetahui adanya proses hukum.

"Adanya penyidikan oleh KPK membuat terdakwa I takut dan panik, sehingga mengembalikan sebagian uang yang dikembalikan kepada Indriyasari," ujarnya.

Amir juga mengatakan, Ita memang tak pernah meminta Kepala Bidang Pengawasan dan Pengembangan Bapenda, Syarifah untuk membakar buku laporan catatan iuran kebersamaan secara langsung, tetapi arahan itu disampaikan melalui atasan Syarifah, Indriyasari.

Tak hanya itu, JPU menyebut kegiatan lomba nasi goreng dan Semarak Simpang Lima yang sempat didanai menggunakan uang iuran kebersamaan itu juga bukan sekadar kegiatan yang diadakan Bapenda Kota Semarang, seperti yang dikatakan Ita.

"Lomba Masak Nasi Goreng Khas Mbak Ita, Semarak Simpang Lima Harmoni Keluarga Kita, dan Gebyar Pemuda Kita Hebat adalah untuk kepentingan politik terdakwa I yang akan mencalonkan kembali menjadi Wali Kota Semarang tahun 2024," urainya.

Penasihat hukum Ita sebelumnya kuga mengutip keterangan ahli bahwa uang yang diminta atau diterima pegawai negeri harus bersumber dari kas umum atau keuangan negara. Namun, JPU menegaskan tidak ada keterangan ahli yang menyebut sumber uang harus dari kas umum.

JPU mencontohkan putusan Mahkamah Agung hingga kasus Bupati Sidoarjo Ahmad Mudlor, yang divonis bersalah memotong insentif pegawai meski uangnya bukan dari kas negara.

"Berdasarkan contoh dan yurisprudensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembayaran atau uang yang dimaksud Pasal 12 huruf F, tidak harus bersumber dari keuangan negara ataupun kas umum," tegasnya.

Terkait dalih Ita bahwa jumlah iuran kebersamaan justru naik setelah dirinya tak menerima uang, JPU memaparkan data sebaliknya. Menurut catatan saksi, iuran naik signifikan sejak Ita mulai menerima pada akhir 2022, lalu turun pada 2024 setelah KPK menyelidiki kasus ini.

JPU juga membantah klaim penerimaan uang hanya empat kali. Total penerimaan Mbak Ita disebut mencapai Rp 1,88 miliar, baik tunai maupun non-tunai, termasuk Rp 300 juta insentif triwulan IV tahun 2023 yang sempat diminta ditunda penyerahannya karena khawatir pemeriksaan KPK.

"Pernyataan terdakwa I ini hanyalah bentuk kepura-puraan semata terdakwa I atas jumlah uang yang diterima oleh terdakwa I," kata dia.

Bantahan untuk pleidoi Alwin Basri di halaman selanjutnya...

Tolak Pleidoi Alwin

Menanggapi pleidoi Alwin, JPU menyebut bantahan soal komitmen fee dari pengusaha Martono sebesar Rp 1 miliar tidak berdasar. Fakta persidangan disebut menunjukkan adanya permintaan fee 3-5 persen dari nilai proyek Rp 500 miliar, yang digunakan untuk operasional pelantikan Mbak Ita.

"Terdakwa II menyampaikan, apabila ingin mengerjakan pekerjaan tersebut harus menyerahkan fee kepada terdakwa I dan terdakwa II sebesar Rp 10-15 miliar atau sama dengan 3-5 persen dari total nilai pekerjaan," tuturnya.

Amir juga membeberkan dugaan keterlibatan Alwin dalam titipan anggaran Rp 20 miliar untuk pengadaan mebel SD, penerimaan gratifikasi terkait proyek penunjukan langsung, hingga komitmen fee Rp 1,75 miliar dari Rachmat Utama Djangkar untuk proyek meja kursi pabrikasi.

"Terdakwa II menghubungi Bambang Pramusinto, memerintahkan agar memasukkan anggaran sebesar Rp 20 miliar untuk pengadaan meja dan kursi fabrikasi pada Dinas Pendidikan pada APBDP tahun 2023 serta memasukkan anggaran sebesar Rp 20 miliar pada APBD tahun 2024," paparnya.

Kemudian, JPU membantah uang gratifikasi yang diberikan Martono merupakan utang, karena Martono telah menyampaikan dalam persidangan bahwa uang tersebut adalah komitmen fee.

JPU KPK pun tetap pada tuntutan yang dibacakan telah sebelumnya, dan meminta majelis hakim menjatuhkan vonis sesuai tuntutan pidana.

Sebelumnya, pada dakwaan pertama Hevearita dan Alwin Basri didakwa menerima suap Rp 2 miliar dari proyek pengadaan barang dan jasa yang diberikan oleh Direktur PT Chimader 777, Martono dan Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa, Rachmat Utama Djangkar. Peristiwa itu terjadi dalam periode akhir 2022 hingga 2023.

Pada dakwaan kedua, Mbak Ita dan Alwin didakwa memotong pembayaran kepada pegawai negeri yang bersumber dari insentif pemungutan pajak dan tambahan penghasilan bagi pegawai ASN Pemkot Semarang. Keduanya disebut menerima total Rp 3 miliar.

Kemudian dalam dakwaan ketiga, terdakwa Mbak Ita dan Alwin didakwa menerima gratifikasi dengan total Rp 2,24 miliar, yang juga diterima terdakwa Martono (kontraktor). Uang tersebut merupakan pekerjaan proyek di 16 kecamatan di Kota Semarang yang dilakukan melalui penunjukan langsung.

Kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11, dan Pasal 12 huruf f, dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

JPU kemudian menuntut Mbak Ita dengan hukuman penjara 6 tahun penjara sementara Alwin 8 tahun penjara. Mbak Ita dan Alwin juga dituntut agar hak dipilih sebagai pejabat publik selama 2 tahun dicabut.

Halaman 2 dari 2
(afn/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads