Pembagian waris merupakan hal yang lumrah dan dialami oleh semua keluarga. Pada umumnya proses ini dijalani melalui sebuah musyawarah keluarga.
Namun tidak jarang warisan menjadi sebuah persoalan atau sengketa. Hal itu membuat pembagian waris perlu dibicarakan sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan perpecahan dalam keluarga.
Salah satu pembaca detikJateng mengkonsultasikan persoalan terkait warisan. Sebenarnya tidak ada masalah yang dialaminya. Pembaca ini mengantisipasi agar warisan tersebut tidak menjadi masalah di masa yang akan datang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaan
Pasangan suami A dan istri B memiliki aset berupa tanah dan rumah yang dibeli dalam ikatan pernikahan.
Mereka lantas memiliki dua orang anak yang bernama C dan D.
Sebelum meninggal, B memberikan wasiat untuk memberikan aset tanah untuk anak bernama C. Sedangkan aset berupa rumah dibagi rata untuk C dan D.
Adapun A juga menyatakan setuju dengan wasiat tersebut.
Setelah B meninggal, A saat ini berencana menikah lagi tanpa persetujuan kedua anaknya.
1. Bagaimana alur yang harus dijalani C dan D untuk bisa mengurus warisan itu?
2. Apa yang harus dilakukan untuk antisipasi agar di kemudian hari istri baru A tidak mempermasalahkan aset tersebut?
Hormat Kami,
Hans
Jawaban
Berkaitan dengan hal tersebut perlu diketahui terlebih dahulu bahwa dalam Pernikahan A dan B tersebut setelah pernikahan berlangsung A dan B memiliki tanah dan bangunan, di mana tanah dan bangunan tersebut merupakan harta gono-gini, dikarenakan tanah dan bangunan tersebut merupakan tanah dan bangunan yang diperoleh setelah perkawinan berlangsung.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang sekarang telah diperbarui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi bahwa: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Harta tersebut menjadi harta bersama dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan dan juga sertifikat Hak Atas tanah (dimana tanggal pembelian tanah dan bangunan tersebut dilakukan setelah perkawinan). Oleh karena itu yang memiliki hak atas harta gono-gini adalah A dan B, dan juga ahli waris dari A dan B tersebut apabila ada .
Berkaitan dengan kasus tersebut di atas B telah meninggal dunia, dan dimana B meninggal dunia meninggalkan harta yang diperoleh saat pernikahan berlangsung berupa tanah dan bangunan. Oleh karena itu perlu ditelusuri terlebih dahulu bahwa yang menjadi ahli waris dari B disini adalah A sebagai suami dari B dan juga anak-anaknya yaitu C dan D, di mana si C dan D merupakan anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari A dan B, sehingga C dan D merupakan ahli waris yang sah juga dari si B.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa:
Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.
Oleh karena itu apabila orang tersebut beragama nonmuslim sehingga tunduk pada KUH Perdata, maka suami (A) dan kedua anaknya yaitu C dan D berhak menjadi ahli waris pada golongan pertama.
Sedangkan apabila orang tersebut beragama muslim, sehingga tunduk pada hukum Islam, maka Berdasarkan ketentuan Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam, Berbunyi bahwa:
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
- Menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak: perempuan, saudara perempuan dari nenek.
- Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
- Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, berkaitan dengan harta warisan, maka apabila beragama Muslim dan tunduk pada hukum Islam, maka sama dengan hukum pada KUH Perdata, Suami (A) dan kedua anaknya yaitu C dan D berhak menjadi ahli waris dari B, yang mana harta warisnya adalah berupa tanah dan bangunan tersebut.
Perlu diketahui bahwa itu bukan hanya merupakan harta warisan yang ditinggalkan B tetapi benda yang merupakan tanah dan bangunan tersebut adalah harta bersama yang diperoleh setelah perkawinan yang sah antara A dan B, oleh karena itu berkaitan dengan hal tersebut, maka yang berhak atas harta bersama adalah A dan B.
Perlu diketahui bahwa berkaitan dengan istri kedua dari A ketika A menikah lagi, maka istri kedua atau istri setelahnya tidak memiliki hak apapun atas harta bersama yang diperoleh setelah perkawinan yang sah antara A dan B tersebut
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 65 ayat (1) Huruf b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi.
Berdasarkan dari ketentuan Pasal tersebut terlihat bahwa apabila A menikah lagi, maka istri kedua tidak memiliki hak apapun atas tanah tersebut, karena yang berhak hanya A dan B, kemudian dikarenakan B sudah meninggal, maka sehingga dapat menjadi turun waris kepada anak-anaknya yaitu C dan D.
Untuk proses pengurusan warisan ada di halaman selanjutnya
Berkaitan dengan pengurusan tanah tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan adalah terkait penetapan ahli waris terlebih dahulu. Di mana dalam memberikan keterangan ini harus dengan sesuai kenyataan yang sebenarnya, atau dengan kata lain, tidak menghilangkan salah satu ahli waris, dan perlu diketahui bahwa ayah dan ibu dari pewaris juga bisa menjadi ahli waris dari pewaris, apabila ibu dan ayah pewaris belum meninggal dunia.
Tetapi berkaitan dengan kasus tersebut yang akan menjadikan harta warisan tersebut menjadi milik C dan D yang merupakan anak dari perkawinan yang sah antara A dan B, dapat dilakukan setelah adanya surat penetapan ahli waris, dimana ahli waris lainnya seperti A (suami dari B berdasarkan perkawinan yang sah) harus mengeluarkan surat pernyataan pelepasan hak waris, dan memberikan harta warisan bagiannya tersebut, yang mana harta waris tersebut juga merupakan harta bersama dan A juga memiliki hak pada harta bersama yang menjadi harta waris tersebut, maka untuk melepaskan hak nya harus juga membuat surat pelepasan hak waris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berbunyi:
Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar dan Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan tersebut kepada Kantor Pertanahan, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertifikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah ayat (4) dan ayat (5) berkaitan dengan peralihan hak atas tanah warisan berbunyi bahwa:
Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah jatuh kepada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan hak atas tanah itu dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan surat tanda bukti ahli waris dan akta pembagian waris tersebut. Warisan berupa hak atas tanah yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftarkan belum ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan/atau akta pembagian waris tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, maka sudah sangat jelas terlebih dahulu yang seharusnya dilakukan adalah berkaitan dengan surat keterangan waris atau surat penetapan ahli waris, dan tentunya untuk melakukan peralihan hak atas tanah karena waris juga harus melampirkan surat kematian dari pewaris tersebut, apabila ada ahli waris yang akan melepaskan hak warisnya karena dalam kasus tersebut akan dialihkan kepada C dan D sebagai anak dari A dan B, maka ahli waris selain C dan D harus membuat pernyataan pelepasan hak waris agar tidak terjadi persengketaan.
Berkaitan dengan wasiat dari B terkait pembagian tanah kepada C dan D maka perlu juga dibuktikan dengan adanya surat wasiat dari B yang menyatakan terkait pembagian tanah tersebut, mengingat bahwa B merupakan pewaris dan pemilik hak atas tanah tersebut.
Berikut adalah persyaratan untuk mengurus peralihan hak atas tanah warisan antara lain: Surat permohonan, Sertifikat hak atas tanah, Surat keterangan kematian, Surat keterangan ahli waris, Fotokopi e-KTP para ahli waris, Fotokopi SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) tahun berjalan, Bukti BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) terutang, Akta wasiat notaris.
Tim LKBH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dr. Arsyad Aldyan, S.H., M.H.
Dr. Airlangga Surya Nagara, S.H., M.H.
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Pembaca yang ingin berkonsultasi dalam masalah hukum bisa mengirimkan email ke: infojateng@detik.com]