Mahfud Md mengungkap dua aspek yang membuat pengusutan kasus Brigadir Nopriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J menjadi rumit. Aspek tersebut yakni aspek psiko-hierarkis dan psiko-politik.
Dikutip dari detikNews, Kamis (4/8/2022), dua hal itu disampaikan Mahfud Md usai bertemu dengan ayah Brigadir J di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, seberang Monas, hari ini.
"Memang harus bersabar karena ada psycho-hierarchical, ada juga psycho-politics-nya. Kalau seperti itu, secara teknis penyelidikan, itu sebenarnya gampang. Apa namanya... bahkan para purnawirawan, 'Kalau kayak gitu gampang, Pak, tempatnya jelas ini', kita sudah tahulah. Tapi saya katakan, oke, jangan berpendapat dulu, biar Polri memproses," tutur Mahfud.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua istilah itu merupakan lakuran (portmanteau), hasil gabungan dua kata atau lebih, yakni psikologi dengan hierarki atau psikologi dengan politik. Mahfud Md tidak merinci lebih lanjut aspek psiko-hierarki dan psiko-politik apa yang ada di kasus Brigadir J. Pertanyaan detikcom yang disampaikan ke Mahfud Md belum mendapat jawaban.
Pakar psikologi forensik lulusan UGM dan Universitas Melbourne, Reza Indragiri Amriel, mencoba menafsirkan maksud Mahfud Md. Berikut ini pemaparannya
1. Psiko-hierarki
Memahani pernyataan Mahfud yakni dalam konteks kasus Brigadir Yoshua. Maka aspek psiko-hierarki yang dimaksud Mahfud merujuk pada kondisi psikologi orang-orang di lembaga kepolisian.
Reza Indragiri menilai kondisi psikologi kepolisian dilanda semacam 'tembok keheningan'. Orang-orang di dalam 'tembok' bakal tutup mulut menutupi borok atasannya karena mereka sadar hierarki.
"Di psikologi forensik sendiri ada istilah wall of silence atau code of silence. Ini adalah subkultur menyimpang yang ditandai kecenderungan personel polisi menutup-nutupi kesalahan atau aib kolega mereka," kata Reza.
Reza menilai bila kondisi psikologis seperti itu yang diidap Polri, maka tak heran ada kendala dalam mengungkap kasus internal seperti perkara tewasnya Brigadir J. Dia mengingat hasil riset soal personel polisi yang menunjukkan para personel melakukan penyimpangan pertama kali atas dasar pengaruh seniornya. Kemudian, lanjut Reza, pihak yang mampu menghentikan penyimpangan itu pun juga seniornya.
"Temuan riset itu memperlihatkan betapa gerak organisasi kepolisian, baik negatif maupun positif, sangat dipengaruhi oleh senioritas," kata Reza.
Budaya 'wall of silence' yang cenderung menutup rapat-rapat aib internal dan budaya senioritas disebutnya dapat memengaruhi pengungkapan kasus internal.
"Kemungkinan penyimpangan dalam proses investigasi muncul sebagai akibat pengaruh negatif senior, dan penyimpangan, ataupun pengaruh itu akan ditutup sedemikian rupa," kata dia.
Lebih dari itu, hanya Mahfud Md yang dapat memastikan soal 'psiko-hierarki' yang dimaksudnya.
Simak pemaparan tafsiran Reza terkait aspek psiko-politis...
2. Psiko-politis
Mahfud menyebut aspek kedua yang membuat rumit pengungkapan kasus Brigadir J yakni aspek psiko-politis. Reza menafsirkan aspek psiko-politik yang memengaruhi pengusutan kasus Brigadir J adalah psiko-politik internal Polri. Bukan politik kenegaraan atau politik secara umum.
"Artinya, aparat penegak hukum bekerja dengan dipengaruhi oleh latar sosial mereka, termasuk keberpihakan poitik mereka. Bukan hanya politik eksternal, tapi juga politik internal (makanya ada istilah organizational politics)," ujar Reza.
Dia mengambil salah satu 'potret' politik internal Polri lewat catatan suatu riset soal klik (kelompok kecil tanpa struktur formal dengan kepentingan bersama). Keberadaan klik atau 'geng-gengan' di internal Polri, disebutnya sudah menjadi kepastian dari masa ke masa. Riset itu menyatakan 40 persen personel memandang bahwa klik di tubuh Polri harus dilarang.
"Berpijak pada fenomena universal itu, pimpinan lembaga kepolisian memang perlu mewaspadai adanya kelompok-kelompok di lingkup internalnya yang berpotensi mengganggu, termasuk mengganggu kerja penegakan hukum," kata Reza.
Klik disebut membuat suasana saling sikut (politicking) menjadi mudah terjadi. Dia berharap 'budaya' semacam itu tidak lagi dilestarikan di internal Polri.
"Untuk itu, sangat konstruktif apabila pimpinan institusi kepolisian menginstruksikan seluruh jajaran agar tidak menghalang-halangi ataupun mengintervensi kerja penegakan hukum. Setiap pelanggar instruksi tersebut perlu dikenai sanksi organisasi bahkan-mungkin-sanksi pidana," tutur Reza.
"Apakah ini yang Menkopolhukam maksudkan dengan psikopolitik? Juga, apakah itu yang terjadi di Polri dan masuk dalam radar Menko? Wallahu a'lam," pungkasnya.