Apa Itu Tingalan Dalem Jumenengan di Keraton Solo? Ini Prosesi Upacaranya

Apa Itu Tingalan Dalem Jumenengan di Keraton Solo? Ini Prosesi Upacaranya

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Senin, 17 Nov 2025 17:49 WIB
Keraton Solo atau Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Keraton Solo. (Foto: Fala Syam/Unsplash)
Solo -

Di jantung Kota Solo, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo memiliki upacara paling sakral dan megah yang mengikat raja, keraton, dan masyarakat dalam satu lingkaran tradisi abadi. Inilah tingalan dalem jumenengan, sebuah peringatan ulang tahun kenaikan takhta raja yang penuh makna, simbol, dan sejarah panjang Mataram Islam.

Jumenengan bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan manifestasi kebesaran raja yang tersusun rapi dalam tiga rangkaian agung, yaitu persiapan, inti, dan penutupan. Sebelum upacara puncak, serangkaian penyucian pusaka, latihan sakral tari bedhaya ketawang sebanyak sembilan kali, hingga penganugerahan gelar kepada abdi dalem dilakukan untuk menjamin kekhidmatan. Puncaknya, sebuah pertemuan resmi agung dan pementasan tarian pusaka yang hanya boleh disaksikan setahun sekali.

Untuk memahami bagaimana sebuah tradisi mampu menjaga legitimasi kekuasaan, spiritualitas, dan kebudayaan selama berabad-abad, mari kita selami satu per satu tahapan upacara paling penting di Keraton Solo ini, detikers!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poin utamanya:

  • Tingalan dalem jumenengan adalah peringatan naik tahtanya raja yang menjadi simbol legitimasi dan keberlanjutan kekuasaan Keraton Solo.
  • Prosesi upacaranya terdiri dari persiapan sakral seperti jamasan pusaka dan latihan bedhaya ketawang, lalu dilanjutkan pisowanan ageng dan pementasan tari sebagai puncaknya.
  • Tradisi kirab pernah menjadi bagian penting penutup jumenengan dan tetap diadakan pada tahun tertentu ketika kondisi memungkinkan.

ADVERTISEMENT

Apa Itu Tingalan Dalem Jumenengan di Keraton Solo?

Tingalan dalem jumenengan merupakan salah satu upacara kerajaan paling sakral yang dimiliki Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dalam artikel Makna Simbolik Ketawang Undur-Undur Kajongan dalam Upacara Tingalan Jumenengandalem di Karaton Surakarta karya Rival Sandhika Hermawan dan Nil Ikhwan dijelaskan bahwa upacara ini termasuk ritual tradisi yang menjadi simbol kebesaran raja.

Kata tingalan berarti 'peringatan', dalem adalah panggilan kehormatan untuk raja Jawa, dan jumenengan berasal dari kata jumeneng yang berarti 'bertahta'. Dengan demikian, tingalan dalem jumenengan dapat dimaknai sebagai peringatan ulang tahun kenaikan tahta raja.

Upacara ini tidak hanya sekadar seremoni tahunan, tetapi merupakan wujud eksistensi bahwa raja masih memimpin dan dihormati. Seluruh elemen kerajaan, mulai dari karawitan, sesaji, abdi dalem, penari, pejabat sentana dalem, hingga masyarakat atau kawula, hadir sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari prosesi.

Tingalan dalem jumenengan juga memiliki makna historis, sebab waktu pelaksanaannya mengikuti penanggalan Jawa pada saat raja naik takhta. Sebagai contoh, SISKS Paku Buwono XIII dinobatkan pada Jumat Kliwon, 25 Rejeb 1937 kalender Jawa atau 10 September 2004. Oleh karena itu, tanggal pelaksanaan upacara ini berubah setiap tahun jika dihitung menurut kalender Masehi.

Selain itu, buku Omah Baluwarti karya Avi Marlina menegaskan bahwa tingalan dalem jumenengan merupakan salah satu ritual paling penting di kerajaan-kerajaan yang masih memiliki garis darah Mataram Islam. Ritus ini bertujuan memperingati hari bersejarah bagi raja serta memperlihatkan keberlanjutan adat dan kekuasaan simbolik keraton.

Prosesi Upacara Tingalan Dalem Jumenengan Keraton Solo

Dikutip dari skripsi Tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat oleh Ruma Patmiati (FKIP Universitas Negeri Lampung), prosesi tingalan dalem jumenengan terdiri dari tiga rangkaian besar, yaitu tahap persiapan, tahap upacara inti, dan penutupan.

A. Tahap Persiapan

Tahap persiapan menjadi fondasi penting sebelum upacara inti dilaksanakan. Seluruh unsur yang terlibat, mulai dari pusaka, penari, hingga keluarga raja, melakukan serangkaian langkah penyucian agar upacara berlangsung dengan khidmat.

1. Unjuk Uningo (Pemberitahuan Acara)

Prosesi diawali dengan unjuk uningo, yaitu penyampaian pemberitahuan mengenai pelaksanaan upacara. Tahap ini menjadi penanda bahwa seluruh perangkat kerajaan, abdi dalem, dan pihak terkait harus bersiap menyambut tradisi besar tingalan dalem jumenengan.

2. Jamasan Pusaka (Pembersihan Pusaka)

Setelah pemberitahuan, dilakukan jamasan atau pembersihan pusaka. Dalam tradisi ini, kesucian menjadi unsur terpenting, sehingga seluruh pusaka yang akan digunakan dibersihkan dengan saksama dan diperiksa kondisinya. Jika terdapat kerusakan, pusaka diperbaiki agar siap dipakai dalam upacara. Selain pusaka, raja, keluarga raja, dan para penari juga menjalani penyucian diri melalui puasa agar jiwa dan raga bersih selama upacara berlangsung.

3. Latihan Tari Bedhaya Ketawang

Tahap berikutnya adalah latihan tari bedhaya ketawang sebanyak sembilan kali sebelum acara inti. Latihan ini dilakukan lengkap dengan sesaji, tata ruang, dan gamelan yang sama seperti saat pementasan. Hal ini dilakukan untuk memastikan kesempurnaan gerak, kekhidmatan suasana, dan kesiapan penari dalam menampilkan tarian sakral tersebut.

4. Wisudan (Pemberian Gelar dan Kenaikan Pangkat)

Sehari sebelum upacara inti, raja memberikan gelar dan kenaikan pangkat kepada abdi dalem yang dinilai berjasa melalui acara wisuda abdi dalem garap dan abdi dalem anon-anon. Prosesi ini merupakan wujud rasa syukur sekaligus bentuk penghargaan raja kepada mereka yang mengabdikan diri kepada keraton.

B. Tahap Inti

Tahap inti merupakan puncak dari seluruh rangkaian tingalan dalem jumenengan. Pada bagian ini, makna legitimasi kekuasaan dan simbol kehadiran raja sangat tampak melalui ritual-ritual yang dilakukan.

1. Pisowanan Ageng

Bagian pertama dari tahap inti adalah pisowanan ageng, yaitu pertemuan resmi antara raja, keluarga raja, dan abdi dalem di Bangsal Agung Sasanasewaka. Dalam prosesi ini, abdi dalem yang memiliki hak sowan datang menghadap raja untuk memanjatkan doa keselamatan bagi raja serta rakyatnya. Prosesi ini menegaskan kedudukan raja sebagai pemimpin dan pelindung, sekaligus menjadi simbol persatuan antara raja dan rakyat karaton.

2. Pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang

Setelah pisowanan ageng, digelar pertunjukan tari bedhaya ketawang sebagai puncak sekaligus penutup upacara tingalan dalem jumenengan. Tarian sakral ini hanya dipentaskan sekali dalam setahun dan memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi.

Pertunjukan tersebut tidak hanya menjadi bentuk penghormatan kepada raja, tetapi juga menjadi medium legitimasi kekuasaan, peneguhan tradisi leluhur. Tari bedhaya ketawang juga menjadi bukti bahwa Keraton Solo masih menjaga ritual-ritual adat yang diwariskan turun-temurun.

C. Penutupan

Dalam tradisi lama, terutama hingga masa pemerintahan Paku Buwono X, upacara tingalan dalem jumenengan selalu ditutup dengan kirab keliling kota dan pembagian udik-udik atau sedekah uang receh kepada rakyat. Tahap penutupan ini menjadi simbol kemurahan raja sekaligus momen yang sangat dinantikan masyarakat.

Namun, menurut skripsi Ruma Patmiati, tahapan penutup tersebut sempat tidak dilaksanakan lagi karena kondisi sarana upacara tidak lagi memungkinkan, khususnya kereta Kyai Garuda Kencana yang sudah mengkhawatirkan untuk dikirabkan. Sejak itu, pelaksanaan Jumenengan lebih banyak berfokus pada bagian inti sebagai bentuk pelestarian budaya, dan kirab hanya dilakukan pada kesempatan tertentu ketika situasinya benar-benar mendukung.

Meski demikian, kirab tetap menjadi bagian yang sangat melekat dalam ingatan masyarakat. Dalam berbagai catatan, rute kirab Jumenengan biasanya mengelilingi kawasan Kota Solo. Buku Omah Baluwarti mencatat rute kirab tradisional yang dimulai dari Keraton Solo, melewati Jalan Pakoe Boewono, Gladag, Jalan Mayor Kusmanto, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Veteran, Jalan Yos Sudarso, Jalan Slamet Riyadi, dan kembali lagi menuju keraton.

Tradisi kirab juga diadakan pada tahun 2025, saat kondisi memungkinkan sehingga karaton dapat melaksanakan kirab Jumenengan PB XIII yang ke-21. Rutenya mengikuti pola kirab malam 1 Suro, dimulai dari pagelaran Alun-alun Utara menuju Gladag, lalu berbelok di simpang Telkom, bergerak ke arah Baturono, Gemblegan, Nonongan, dan kembali lagi ke dalam kawasan keraton.

Nah, itulah tadi penjelasan lengkap mengenai tingalan dalem jumenengan di Keraton Solo. Apakah kamu tertarik untuk menyaksikan kirabnya, detikers?




(sto/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads