Wayang Kedu Gagrag Wonosobo atau Wayang Kedu Wonosaban akhirnya mendapatkan pengakuan besar sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia Tahun 2025. Di balik penetapan bergengsi ini, ada perjalanan panjang sebuah seni pertunjukan yang dulu begitu hidup di masyarakat, namun perlahan meredup dan hampir terlupakan seiring perkembangan zaman.
Seni pedalangan khas Karesidenan Kedu ini menyimpan kekayaan sejarah, bentuk tokoh yang unik, ciri musik yang berbeda, serta lakon-lakon yang tidak ditemukan pada gaya Jogja maupun Solo. Bahkan pada masa kejayaannya, wayang Kedu bisa dipentaskan semalam suntuk hingga puluhan hari berturut-turut. Kini, hanya sedikit dalang dan pengrawit yang masih menjaga napas tradisi ini.
Mari kita mengenal Wayang Kedu Gagrag Wonosobo yang terlupakan itu melalui penjelasan yang dirangkum dari publikasi Wayang Kedu Wonosaban: Sejarah, Bentuk, dan Filosofi tulisan Agus Suprastya serta Tatag Taufani Anwar berikut ini!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin utamanya:
- Wayang Kedu Gagrag Wonosobo resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2025.
- Seni pertunjukan ini memiliki ciri sejarah, bentuk wayang, iringan, serta lakon yang berbeda dari gaya lain.
- Pelestarian perlu diperkuat karena jumlah pelaku seni semakin sedikit dan regenerasi belum optimal.
Tentang Wayang Kedu Gagrag Wonosobo
Untuk mengenal Wayang Kedu Gagrag Wonosobo, kita dapat menelusuri mulai dari sejarah, bentuk, hingga contoh lakonnya.
1. Sejarah
Wayang kulit dalam bahasa Jawa dikenal dengan sebutan ringgit atau ringgit purwa. Kata purwa berarti awal dan menunjukkan bahwa jenis ini dianggap paling tua dibandingkan wayang kulit lainnya. Keberadaan wayang purwa sudah disebut dalam teks kuno seperti Kakawin Arjuna Wiwaha dari abad ke-11 yang menggambarkan orang melihat pertunjukan wayang hingga larut dalam cerita meski tahu bahwa yang dilihat hanya kulit yang dipahat.
Sejarah wayang Kedu Gagrag Wonosaban juga menunjukkan jejak yang sangat tua. Pada tokoh Setiyaki ditemukan pahatan tahun sekitar 1700. Tokoh Semar dari tahun 1400 juga pernah ditemukan walaupun identitas pentingnya tidak lagi utuh karena wayangnya dipugar ulang. Beberapa prasasti bahkan mencatat keberadaan ringgit sejak abad ke-9 hingga masa Raja Balitung.
Para dalang di wilayah Karesidenan Kedu meyakini bahwa gaya Kedu diciptakan oleh Ki Lebdajiwa atau Ki Panjang Mas II pada masa Amangkurat I sekitar abad ke-17. Dari tokoh inilah seni pedalangan gaya Kedu berkembang dan diwariskan, meski penelitian lebih mendalam masih diperlukan untuk memastikan garis keturunannya di Wonosobo.
Banyak dalang terkenal berasal dari Wonosobo dan menjadi tokoh penting dalam menjaga pakeliran gaya Kedu. Di antaranya adalah Kiai Dalang Singasana, Simbah Mirombo, hingga Ki Anom Suroso. Mereka memperkuat tradisi yang diwariskan secara turun-temurun melalui pertunjukan dan pembelajaran.
Pada masa awal, wayang Kedu memiliki jumlah tokoh yang terbatas. Namun dalam perkembangannya muncul tokoh tokoh baru seperti cantrik lokabranta dan singa prenjana. Inovasi ini dilakukan agar cerita tidak mudah ditebak penonton atau karena belum tersedianya tokoh yang dibutuhkan. Hal seperti ini masih dilakukan dalang sampai sekarang.
Selain itu, terdapat lakon khas yang tidak ditemui pada gaya Jogja atau Solo. Salah satu contohnya adalah Babat Alas Mendolo Giri yang mengisahkan pembangunan Kasatriyan Tunggul Pamenang dan pertemuan Raden Werkudara dengan Dewi Arimbi. Cerita unik ini menjadi bagian dari kekhasan gaya Kedu Wonosaban.
Gagrag Kedu Wonosaban kemudian berkembang menjadi beberapa gaya seperti Kedu Mendolo, Kedu Selokromo dan Kedu Tosari. Perbedaan itu banyak dipengaruhi oleh dalang yang sering menghidupkan pertunjukannya. Setiap dalang memiliki gaya penampilan dan ciri khas iringan yang berbeda.
Masa kejayaan wayang Kedu terjadi pada tahun 1940 hingga 1960an. Pada saat itu seorang dalang bisa mendalang hingga 40 malam berturut-turut pada musim panen. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki atau naik dokar. Stamina dan dedikasi mereka sangat luar biasa demi menjaga seni pertunjukan rakyat ini tetap hidup.
Namun, setelah masa itu, perlahan wayang Kedu mengalami kemunduran. Banyak pengrawit dan dalang yang sudah lanjut usia bahkan wafat. Regenerasi sulit dilakukan karena pengaruh kuat gaya Jogja dan Solo yang lebih sering tampil di media dan pertunjukan besar. Kini hanya tersisa beberapa pelaku seni yang masih berjuang mempertahankannya agar tidak punah.
2. Bentuk Wayang
Wayang Kedu Gagrag Wonosobo memiliki bentuk yang mudah dikenali. Ukurannya cenderung lebih gemuk dan agak pendek. Posisi kaki dan pantat lebih rapat sehingga sering disebut 'kak kong'. Bahan kulit yang digunakan biasanya dari sapi atau kerbau. Ketebalan wayang dibuat lebih tebal untuk menyesuaikan udara Wonosobo yang dingin agar wayang tidak mudah melengkung.
Bagian pegangan yang disebut cempurit atau gapit dibuat dari tanduk kerbau, bambu atau kayu dan panjangnya bisa mencapai satu meter lebih. Sambungan lengan wayang memakai gegel dari tulang sapi agar tangan bisa digerakkan dengan luwes. Bentuk tatahan wayangnya memiliki pola mirip gaya Solo. Ada istilah yang sering digunakan penatah seperti patran, srunen, kembang katu dan emas emasan untuk berbagai motif ukiran.
Warna pada wayang Kedu cenderung sederhana. Bagian tangan sering diberi warna hitam, merah atau coklat yang menunjukkan karakter tokohnya. Bahan pewarna masih tradisional seperti gincu untuk merah, tulang ayam untuk putih, atal batu untuk kuning, dan langes untuk hitam. Lem alami dibuat dari kikil sapi atau putih telur agar warna tidak mudah terkelupas.
Proses pembuatannya membutuhkan ketelatenan. Kulit direndam, dikeringkan di bawah matahari hingga lebih dari satu bulan sebelum bisa dipahat. Setelah digambar, kulit ditatah secara manual lalu disungging atau dicat bertahap. Proses terakhir adalah nyawi untuk memberi garis detail dan kemudian dijemur kembali. Satu wayang saja bisa dikerjakan selama satu minggu sehingga setiap tokoh memiliki nilai seni yang sangat tinggi.
3. Fungsi dan Pakeliran
Di masa lalu, Wayang Kedu Gagrag Wonosobo memiliki fungsi yang sangat penting. Selain sebagai hiburan bagi masyarakat, pertunjukan ini digunakan dalam tradisi ruwatan.
Ruwat bumi dilakukan sebagai ungkapan syukur sebelum atau setelah musim tanam dan panen. Ruwat sukerta ditujukan untuk anak anak yang dianggap membutuhkan perlindungan dari kemalangan. Ada juga ruwat jagal sebagai syukur bagi jagal yang telah memotong seribu hewan besar.
Pementasan wayang berlangsung semalam suntuk sejak pukul tujuh malam hingga pagi hari. Alur cerita menentukan perpindahan bagian cerita atau pathet, bukan jam pertunjukan seperti pada gaya lain. Lakon yang sering dimainkan juga menyesuaikan kebutuhan ruwatan, misalnya Makukuhan untuk ruwat bumi, Murwakala untuk ruwat sukerta dan Jagal Bilawa untuk ruwat jagal.
Unsur musikalnya menjadi ciri khas yang sulit ditemui di gaya lain. Iringan memakai gamelan laras slendro dengan berbagai instrumen seperti kendang, gender, rebab, saron, bonang dan kenong. Ada genukan khusus dalam dialog dan adegan marah. Beberapa sulukan seperti tlutur Ngaraswangi dan Semeru memberi suasana sedih yang kuat. Jenis srepeg juga beragam dan memiliki fungsi berbeda untuk mengiringi tiap suasana dalam cerita.
Sayangnya pakeliran gaya Kedu kini semakin jarang ditampilkan. Banyak dalang dan pengrawit sepuh telah tiada dan regenerasi tidak berjalan lancar. Hanya sedikit yang masih menguasainya sehingga kesenian khas Wonosobo ini butuh dukungan agar tidak hilang ditelan zaman.
4. Bentuk Iringan
Iringan dalam wayang Kedu Gagrag Wonosobo memiliki ciri khas yang membedakannya dari gaya lain. Setiap bagian cerita atau pathet menggunakan pola musik berbeda.
Pathet Nem menggunakan ayak ayak dan srepeg lasem yang biasa dimainkan pada bagian awal pertunjukan sampai adegan kerajaan. Pathet Sanga mengiringi adegan yang lebih dinamis seperti perang dan kehadiran punakawan. Pathet Manyura dimainkan pada bagian akhir cerita menggunakan srepeg manyura dan sampak sebagai penanda suasana semakin tegang menuju penutup.
Keunikan lain terletak pada penggunaan genukan. Pada gaya lain genukan hanya memakai gender sebagai pengiring dialog wayang. Dalam gagrag Kedu genukan didukung lebih banyak instrumen seperti gender, gambang, slenthem, saron dan rebab.
Ketika dalang melantunkan suluk tertentu kendang ikut memberi tanda dan memperkuat ketegangan suasana. Setiap iringan tidak hanya berfungsi menghidupkan cerita tetapi juga menjadi tuntunan dalang dalam mengatur alur pertunjukan semalam suntuk.
Beberapa bentuk iringan kini semakin jarang dimainkan seiring menurunnya jumlah pelaku wayang Kedu. Banyak repertoar khas yang tidak lagi terdengar di panggung karena keterbatasan regenerasi pengrawit dan dalang. Meski begitu, kekhasan musiknya masih menjadi kekayaan budaya yang menarik untuk ditelusuri dan dilestarikan agar tidak tenggelam oleh perkembangan zaman.
5. Contoh Lakon Wayang Kedu Gagrag Wonosobo
Wayang Kedu Gagrag Wonosobo memiliki banyak lakon khas yang tetap bersumber dari Ramayana dan Mahabharata. Ceritanya sering dikembangkan mengikuti kearifan lokal sehingga terasa lebih dekat dengan masyarakat.
Salah satu lakon yang terkenal adalah Mutiserat. Lakon ini menghadirkan tokoh besar seperti Prabu Dasamuka dan Bathara Narada namun dengan jalur cerita yang berbeda dari versi populer.
Dalam Mutiserat, diceritakan Prabu Anggana Dewa dari Magadadana yang putri-putrinya hendak dilamar utusan dari Alengka dan Bruwasekandi. Karena kedua utusan kalah dalam sayembara melawan Kusuma Perdapa maka lamaran ditolak.
Hal tersebut membuat Prabu Dasamuka murka dan mengutus dua jin untuk menculik kedua putri. Sementara itu Prabu Mutiserat memilih datang sendiri untuk melamar hingga terjadi pertempuran dengan putra mahkota Magadadana.
Pertarungan berlanjut dengan kemenangan Prabu Mutiserat yang berhasil membawa pulang kedua putri. Namun di perjalanan ia harus berhadapan dengan para jim utusan Alengka.
Perseteruan semakin besar hingga Prabu Dasamuka sendiri turun menantang perang tanding. Prabu Mutiserat kembali menang tetapi Bathara Narada turun mencegah kematian Dasamuka agar kisah Ramayana tetap berlangsung. Lakon ini ditutup dengan kedamaian kembali dan pesta pernikahan di Bruwasekandi.
Mari ikut menjaga kelestarian Wayang Kedu Gagrag Wonosobo dengan mengenalnya lebih dalam, menghargai para pelakunya, dan mendukung upaya pelestariannya di tengah perubahan zaman. Semoga penjelasan di atas bermanfaat!
(sto/ahr)











































