Dalang kondang Ki Anom Suroto meninggal pada Kamis (23/10). Ia mengalami serangan jantung saat sedang menulis naskah. Almarhum meninggalkan seorang istri, delapan anak, dan 18 cucu.
Ki Anom Suroto meninggal usai dirawat di ruang ICU Rs dr Oen Kandang Sapi Solo usai mengalami serangan jantung. Selain itu, Ki Anom Suroto juga mempunyai riwayat diabetes.
Suasana haru terlihat saat jenazah Ki Anom Suroto disemayamkan di pendopo Kebon Seni Timasan, Kamis (23/10).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suara gamelan lirih mengalun di antara isak tangis dan doa untuk Anom Suroto. Hal itu merupakan pesan dari Ki Anom di malam sebelum meninggal.
Suluk Patet Lindur dikenal sebagai suluk pergantian dari Patet Nem ke Patet Sanga, menggambarkan perjalanan manusia menuju akhir hayat.
Selain itu, tabuhan Gending Layu-Layu, karya dalang legendaris Ki Narto Sabdo juga dimainkan. Gending tersebut lazim dimainkan dalam pagelaran wayang ketika seorang tokoh atau pahlawan gugur.
Jenazah dalang Ki Anom Suroto tiba di rumah duka di Makamhaji, Sukoharjo, Kamis (23/10/2025). Foto: Tara Wahyu NV/detikJateng |
Saat itu nampak politisi hingga seniman yang melayat. Setidaknya ada beberapa tokoh yakni Bupati Etik Suryani datang didampingi Wakil Bupati Sukoharjo Eko Sapto Purnomo.
Sementara sejumlah seniman yang datang ada Kirun, Yati Pesek, Endah Laras, Toni Belok Kiri, hingga Erick Estrada.
Jenazah Ki Anom Suroto dikebumikan di Juwiring, Klaten, persis di samping makam ayahnya Ki Sadiyun Hardjodarsono.
Makam Ki Anom Suroto berada di paling barat di trap atas di samping ayahnya. Urutan di kompleks makam tersebut dari barat ke timur, Ki Anom Suroto, Ki Sadiyun Hardjodarsono (ayah), Hj Sawini (ibu) dan Ki Warsena Slenk (adik).
Menulis Naskah di Akhir Hayat
Putra Ki Anom Suroto, Jatmiko mengatakan ayahnya terkena serangan jantung di rumah. Saat itu, kata dia, sang ayah sedang membuat naskah.
"(Serangan jantung di mana?) Di rumah, seperti biasa sedang membuat naskah," katanya ditemui detikJateng di rumah duka di Kebon Seni Timasan, Makamhaji, Sukoharjo, Kamis (23/10/2025).
Selama dirawat, Ki Anom juga sempat sadar dan bisa berbicara. Keadaan memburuk di hari kepergiannya.
"Kemarin masih sadar, masih bisa ngomong. Beliau masih sadar kemarin, tapi drop tadi pagi, sudah nggak bisa ngendiko (bicara). Yang ada di rumah sakit pertama saya sama Bu Anom, saya bimbing untuk istighfar. Alhamdulillah bapak bisa membaca, 'Allah, Allah', gitu akhirnya nggak ada," ungkapnya.
Sempat Pamit Akan Pergi Jauh
Putranya yang lain, Ki Bayu Aji Pamungkas, mengungkap pesan terakhir sang ayah sebelum meninggal dunia. Kala itu, Ki Anom meminta Bayu hati-hati dan mengatakan akan pergi jauh.
"Beliau masih sempat suluk, masih sempat mejang (wejangan) dan terakhir saya sempat pamit bahwa saya besok mau ndalang ke Magetan besok malam saya itu, Bapak hanya bilang hati-hati. Aku tak ndelok saka kadohan, bapak sesok lunga adoh (besok aku tak melihat dari kejauhan, bapak besok pergi jauh)," katanya di rumah duka.
Bayu juga mendapat pesan agar meneruskan mendalang seperti yang dilakukan Ki Anom.
Suasana pemakaman Ki Anom Suroto di Depokan, Juwiring, Klaten Kamis (23/10/2025). Foto: Achmad Husein Syauqi/detikJateng |
"Pesan-pesan ya tetap menjaga marwah gaya pakeliran dari Anom Suroto. 'Titip ya Pras tutukno lakune bapakmu' hanya seperti itu pokoke kudu sing ngati-ati tetep di jalur pakeliran gaya beliau walaupun akan divariasi. Bilangnya nggak apa-apa sing penting aja nganti ninggal paugeran seperti itu, yang dawuh yang saya terima kemarin," bebernya.
Cerita Teman Masa Kecil
Kehidupan Ki Anom Suroto memang lekat dengan wayang. Memiliki ayah yang juga dalam, Ki Anom sudah sejak kecil belajar menjadi dalang.
Ia juga tercatat pernah belajar di Himpunan Budaya Surakarta (HBS) tahun 1960-an dan Habiranda Jogja tahun 1976-1977.
Kepiawaiannya sebagai dalang mengantarkan banyak penghargaan baik dalam dan luar negeri. Bahkan, tahun 1994, ia dijuluki The Advertiser, sebuah surat kabar asal Australia, sebagai 'Presiden Wayang Kulit'.
Salah satu teman masa kecil Ki Anom Suroto adalah Paiman, warga Juwiring, Klaten. Kakek berusia 77 tahun itu masih ingat bagaimana dirinya ikut bergelut dengan seni wayang karena Ki Anom.
"Kalau pulang sekolah nyusul ayahnya belajar wayang, saya diajak, itu saat SD. Padahal pentas di Catat (Juwiring) bahkan sampai Delanggu, sampai Karangdowo," terang Paiman.
Menurut Paiman, setelah belajar seni pakeliran dari ayahnya di sela pentas, Anom mulai mendalang sendiri saat SMP. Biasanya saat acara kampung atau 17 Agustusan.
"Biasanya saat acara kampung atau 17-an di kampung-kampung. Saya pernah diajak main ke rumahnya di Solo tapi sampai sekarang belum sempat," lanjut Paiman.












































