Warga di Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali menggelar tradisi nyadran atau sadranan, bertepatan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Sebuah tradisi untuk mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia.
"Nyadran atau sadranan di bulan Mulud ini sudah berlangsung sejak zaman dahulu, sejak zaman nenek moyang dan turun temurun dan sampai sekarang masih dilaksanakan warga disini," kata tokoh masyarakat setempat, Jaman disela-sela acara Senin (16/9/2024).
Sadranan ini berlangsung di kompleks permakaman umum Dukuh Mlambong, Desa Sruni, Kecamatan Musuk. Diikuti oleh ratusan warga di lingkungan RW 04 serta 05 Desa Sruni dan sekitarnya.
Tradisi ini diawali dengan bubak atau bersih-bersih makam yang dilaksanakan sehari sebelumnya atau Minggu (15/9) kemarin. Kemudian hari ini tadi dilaksanakan sadranan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan membawa tenong maupun rinjing berisi beraneka makanan, warga berbondong-bondong ke permakaman umum tersebut. Mereka berasal dari 6 RT di lingkup RW 04 serta beberapa RT di RW 05 Desa Sruni.
Juga diikuti para warga dari berbagai daerah lain yang memiliki leluhur yang dimakamkan di tempat ini.Tak hanya warga yang sudah dewasa, anak-anak pun ikut.
Kenduri sadranan dilaksanakan diawali dengan zikir, tahlil, dan pembacaan surat Yasin. Setelah doa bersama, kemudian dilanjutkan makan bersama-sama. Warga juga saling berbagi makanan yang dibawanya.
Dijelaskan, tujuan sadranan ini di antaranya untuk mendoakan para leluhur dan sanak keluarganya yang telah meninggal dunia. Sadranan ini digelar juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rezeki dan kesehatan.
"Untuk mendoakan para leluhur kita yang telah meninggal dunia. Juga untuk menjaga dan melestarikan tradisi yang sudah turun-temurun ini," imbuh Ketua RW 04 ini.
Di Dukuh Mlambong, Desa Sruni yang berada di kawasan lereng Gunung Merapi sisi timur ini, tradisi sadranan berlangsung dua kali dalam setahun. Selain di bulan Mulud, juga di laksanakan bulan Ruwah, menjelang bulan Ramadan.
Salah seorang warga, warsito, mengaku senang tradisi nyadran ini tetap berlangsung hingga saat ini. Selain untuk mendoakan para leluhur, tradisi ini juga sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rezeki yang dilimpahkan ke warga disini.
"Di makam Mlambong ini, sadranan dilaksanakan dua kali dalam setahun. Di bulan Mulud dan Ruwah," jelasnya.
Untuk makanan, kata dia, tidak ada jenis makanan khusus yang harus dibawa dalam sadranan. Selain jajanan, juga nasi berikut sayur dan lauk-pauknya. Untuk buah-buahan, yang mesti ada adalah pisang.
"Ini saya bersama anak-anak saya," pungkas dia.
Warga berharap, tradisi nyadran yang merupakan warisan nenek moyang ini dapat terus lestari.
(apl/apl)