Tradisi Syawalan Bukit Sidoguro, Lestarikan Budaya hingga Wisata Klaten

Tradisi Syawalan Bukit Sidoguro, Lestarikan Budaya hingga Wisata Klaten

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 17 Apr 2024 19:15 WIB
Suasana Bukit Sidoguro yang ramai wisatawan, Rabu (17/4/2024).
Kepala Dinas Kebudayaan Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Kabupaten Klaten, Sri Nugroho (Foto: Dok. Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng)
Klaten -

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten kembali menggelar tradisi Syawalan. Tradisi tahunan yang diadakan setiap hari ketujuh Bulan Syawal itu digelar di Bukit Sidoguro, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat.

Kepala Dinas Kebudayaan Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Kabupaten Klaten Sri Nugroho mengatakan Tradisi Syawalan ini tak hanya digelar sebagai sarana untuk saling memaafkan antara masyarakat dengan pamong praja. Tapi juga digelar untuk melestarikan tradisi budaya Jawa sebagai bentuk handarbeni atau perwujudan cinta kepada negeri.

"Tradisi ini digelar sebagai salah satu bentuk pelestarian budaya nenek moyang berupa ketupat Lebaran. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa memiliki makna ngaku lepat atau mengakui kesalahan yang dilanjutkan dengan saling memberikan maaf," kata Nugroho di Bukit Sidoguro, Rabu (17/4/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam tradisi tersebut, Pemkab Klaten telah menyediakan 25 gunungan berisi ketupat, hasil bumi, dan sambal krecek, serta 1.000 porsi ketupat sayur untuk dibagikan kepada ribuan masyarakat Klaten yang hadir siang itu.

Gunungan tersebut diarak mukai dari gerbang masuk Bukit Sidoguro hingga amfiteater Bukit Sidoguro. Acara dibuka dengan penampilan tari selamat datang dari Omah Wayang Klaten, dilanjutkan dengan pembacaan doa dan sambutan, serta perebutan isi gunungan.

ADVERTISEMENT

Nugroho menjelaskan tradisi yang mengambil tema Ngapuro Ing Ngaputo Tumuju Ing Fitri itu merupakan tradisi warisan leluhur yang sudsh ada sejak abad ke-15, saat era Kerajaan Demak. Ketupat digunakan oleh Sunan Kalijaga saat menyebarkan dakwah Agama Islam. Ketupat yang memiliki 4 sisi itu pun memiliki makna lebaran, lubaran, leburan, dan laburan.

"Lebaran sebagai makna pintu memaafkan, luberan bermakna berlimpah dan memberikan sedekah pada orang lain, leburan sebagai makna melebur dosa yang dilalui selama satu tahun, makna laburan tentunya menyucikan diri," terangnya.

Ia berharap, tradisi Syawalan ini juga bisa menjadi sarana untuk mempromosikan wisata Kabupaten Klaten, yaitu Bukit Sidoguro dan Rawa Jombor yang berada di sekitarnya. Dengan begitu, perekonomian masyarakat sekitar pun bisa meningkat.

Tampak hadir pula Bupati Klaten Sri Mulyani, Wakil Bupati (Wabup) Klaten Yoga Hardaya, Sekretaris Daerah (Sekda) Klaten Jajang Prihono, Kapolres Klaten AKBP Warsono, Komandan Kodim (Dandim) 0723 Klaten Letkol Czi Bambang Setyo Triwibowo.

Sri Mulyani mengatakan tradisi Syawalan ini tak hanya digelar untuk mewariskan tradisi leluhur, tapi juga bisa menjadi sarana promosi tempat wisata di Klaten. Terlebih, Bukit Sidoguro sudah disulap menjadi obyek wisata cantik dengan berbagai spot foto menarik.

"Sekarang kan sudah cantik, sudah ada kafenya juga. Nanti akan kita kembangkan dengan wahana, biar lebih lengkap," ungkapnya.

Usai tradisi digelar, tak sedikit masyarakat yang lantas mendatangi obyek wisata Bukit Sidoguro. Salah satunya Sri (43) asal Polokarto, yang kemudian berkunjung ke Bukit Sidoguro bersama keluarganya.

Ia mengatakan, tertarik berkunjung ke Bukit Sidoguro usai mengikuti tradisi Syawalan. Menurutnya, kini Bukit Sidoguro sudah menjadi lebih bagus dengan arsitektur yang menawan

"Sekarang sudah bagus, tempatnya lebih kekinian. Ini juga bisa lihat Rawa Jombor dari atas," ungkapnya kepada detikJateng.

Meski begitu, ia tetap berharap agar ke depannya Pemkab Klaten bisa terus berbenah untuk meningkatkan sarana dan prasarana di Bukit Sidoguro ataupun obyek wisata lainnya.

(akd/ega)


Hide Ads