Mahesa Lawung Keraton Solo, Ritual Tanam Kepala Kerbau di Hutan Krendowahono

Mahesa Lawung Keraton Solo, Ritual Tanam Kepala Kerbau di Hutan Krendowahono

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Senin, 13 Nov 2023 16:07 WIB
Ritual Mahesa Lawung Keraton Solo di Alas Krendowahono, Karanganyar, Senin (13/11/2023).
Mahesa Lawung Keraton Solo, Ritual Tanam Kepala Kerbau di Hutan Krendowahono (Ritual Mahesa Lawung Keraton Solo di Alas Krendowahono, Karanganyar, Senin (13/11/2023).. Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng)
Solo -

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kembali menggelar Hajad Dalem Mahesa Lawung. Tradisi ini punya ciri khas mengubur kepala kerbau yang dianggap sebagai simbol kebodohan.

Tradisi yang juga disebut dengan Wilujengan Nagari Mahesa Lawung itu dimulai dengan doa bersama di Sitihinggil Keraton Solo itu dimulai Senin (13/11/2023), sejak pukul 09.20 WIB. Para sentana dalem dan abdi dalem Keraton Solo berkumpul mengelilingi sesaji sambil memanjatkan doa.

Dalam tradisi itu, terdapat sesaji berupa kepala kerbau. Usai berdoa, kepala kerbau dibawa menuju Alas Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, untuk dikuburkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KGPH Dipokusumo, mengatakan tradisi ini sudah ada sejak era Mataram Hindu. Dulunya, sesaji identik dengan kebudayaan masyarakat Hindu.

"Wilujengan Nagari Mahesa Lawung ini sebetulnya sudah dilaksanakan oleh para raja-raja di Pulau Jawa, bahkan juga sampai ada sejarah di era zaman Hindu-Buddha. Yang dinamakan sesaji pada waktu itu adalah berkaitan dengan ala model agama Hindu, yaitu Sesaji Raja Weda, Sesaji Raja Suya," kata Gusti Dipo kepada detikJateng, Selasa (13/11/2023).

ADVERTISEMENT

Setelah semakin berkembang dengan adanya agama Islam, Mahesa Lawung sempat tidak dilaksanakan. Lantaran adanya beberapa hal yang dinilai tidak selaras dengan ajaran Islam.

"Namun demikian, oleh saran para wali, terutama seorang wali, Sunan Kalijaga, bahwa sesaji itu harus juga dilaksanakan," imbuhnya.

Pemilihan Alas Krendowahono sebagai tempat penguburan kepala kerbau ini pun dipilih karena dulu banyak tulang belulang yang ditemukan di sekitar area Krendowahono. Tulang belulang itu pun dulu dikira tulang raksasa yang dikalahkan Bathari Durga.

"Area di sini dulu banyak ditemukan tulang belulang itu yang dikatakan Pasetran Gondo Mayit, yang itu diambil sejarah dari Kitab Mahabarata," ungkap Gusti Dipo.

Gusti Dipo mengatakan, Bathari Durga memiliki karakteristik yang mudah marah, sehingga diadakannya tradisi ini diharapkan dapat membuat sesama makhluk saling mengerti.

"Nah ini kalau orang memiliki karakter semacam itu, atau makhluk (memiliki karakter) semacam itu, bisa berkolaborasi lah istilahnya sekarang. Mudah-mudahan negara bisa menjadi lebih baik," ucapnya.

Kegiatan berlangsung hingga pukul 11.30 WIB. Ratusan nasi kotak dibagikan kepada para sentana dalem, abdi dalem, serta siapapun yang mengikuti Hajad Dalem Mahesa Lawung.

Mahesa Lawung sendiri berasal dari kata Mahesa yang artinya kerbau, dan Lawung yang artinya liar. Kerbau disimbolkan dengan kebodohan, sehingga penguburan kerbau menjadi simbol menolak bala atau bahaya.

"Kerbau disimbolkan dengan kebodohan, makanya kepala kerbau dikubur disini untuk memendam kebodohan. Mahesa artinya kerbau, lawung itu liar. Jadi ini kerbau yang belum pernah bekerja," ucap salah satu abdi dalem yang mengikuti Mahesa Lawung.

Tak hanya kepala kerbau, ada pula manten sepasang, sesaji yang dibalut dengan kain sindur, dan sajen pepak ageng yang ditata di atas pundhen di bawah pohon beringin.




(aku/ahr)


Hide Ads