Sejarah dan Isi Perjanjian Giyanti, Awal Pecahnya Mataram Islam

Sejarah dan Isi Perjanjian Giyanti, Awal Pecahnya Mataram Islam

Santo - detikJateng
Senin, 22 Mei 2023 19:08 WIB
Situs perjanjian Giyanti di Karanganyar.
Sejarah dan Isi Perjanjian Giyanti, Awal Pecahnya Mataram Islam (Foto: Situs perjanjian Giyanti di Karanganyar/Bayu Ardi Isnanto/detikJateng)
Solo -

Perjanjian Giyanti merupakan cikal-bakal terbentuknya Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Bagaimana sejarah adanya Perjanjian Giyanti dan apa isinya? Simak pembahasannya berikut ini.

Kerajaan Mataram Islam merupakan kerajaan adidaya yang pernah berkuasa di Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki berbagai peninggalan bersejarah yang masih eksis di masa sekarang salah satunya adalah wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Kedua wilayah ini dulunya merupakan satu wilayah yang pecah akibat konflik rumit antar keluarga dan campur tangan VOC. Konflik tersebut kemudian berhasil diakhiri dengan penandatanganan Perjanjian Giyanti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apa Itu Perjanjian Giyanti?

Mengutip laman Pemkot Yogyakarta, Perjanjian Giyanti merupakan peristiwa yang menandai pecahnya Kerajaan Mataram Islam. Perpecahan tersebut berasal dari konflik keluarga yang berdampak pada pembagian Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sejarah Perjanjian Giyanti

Kesepakatan dalam Perjanjian Giyanti diawali oleh konflik internal dalam Kesultanan Mataram Islam yang melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said. Konflik ini terjadi akibat pengangkatan Pangeran Prabasuyasa yang bergelar Pakubuwana II menjadi raja baru.

ADVERTISEMENT

Namun, Raden Mas Said yang merupakan anak dari Arya Mangkunegara (putra sulung Amangkurat IV) meminta haknya sebagai pewaris takhta Kesultanan Mataram Islam. Selain itu, konflik tersebut juga dipicu oleh adanya keputusan Pakubuwana II yang ingin memindahkan ibu kota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta pada 1745 M.

Konflik semakin rumit ketika Raden Mas Said bekerjasama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut kekuasaan. Pakubuwana II kemudian wafat, dan Pangeran Mangkubumi langsung memanfaatkan kekosongan pemerintahan dengan mengangkat diri sebagai raja baru Mataram Islam.

VOC yang saat itu sudah ikut campur dalam pemerintahan Mataram Islam tidak mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai raja dan mengangkat Raden Mas Soerjardi (anak Pakubuwana II) sebagai raja baru bergelar Pakubuwana III. Alhasil, Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi yang tidak setuju dengan keputusan tersebut akhirnya melakukan serangan terhadap VOC dan Pakubuwana III.

Namun VOC begitu licik, mereka melakukan taktik adu domba dengan menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati dengan Pangeran Mangkubumi. Taktik tersebut berhasil dan mengakibatkan terjadinya perselisihan antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi pada 1752 M.

VOC kemudian memanfaatkan situasi untuk berunding bersama Pangeran Mangkubumi dengan berjanji akan memberinya setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwana III.

Pada 22-23 September 1754, VOC mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk berunding bersama membahas mengenai pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, dan kerja sama VOC dengan kesultanan di Dukuh Kerten, Desa Jantiharo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Perundingan tersebut akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua wilayah dengan dua raja yang memiliki gelar berbeda.

Isi Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti berisi sejumlah pasal yang disepakati oleh seluruh pihak yang berkonflik sebagaimana disebutkan dalam buku 'Menelusuri Jejak Mataram Islam di Yogyakarta' (2021) oleh V. Wiranata Sujarweni berikut ini.

Pasal 1

Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwana Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separuh dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.

Pasal 2

Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.

Pasal 3

Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur. Intinya seorang patih dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum kemudian Belanda menyetujuinya.

Pasal 4

Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni. Pokok-pokok pemikirannya itu Sultan tidak memiliki kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala keputusan ada di tangan Dewan Hindia Belanda.

Pasal 5

Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.

Pasal 6

Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan Sri Sunan Pakubuwana II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.

Pasal 7

Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwana III sewaktu-waktu diperlukan.

Pasal 8

Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.

Pasal 9

Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara Raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.

Demikian pembahasan mengenai Perjanjian Giyanti lengkap dengan sejarah dan isinya. Semoga bermanfaat, Lur!

Artikel ini ditulis oleh Santo, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(ams/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads