Masjid Al Manshur di Dusun Popongan, Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari merupakan salah satu masjid kuno di Klaten yang masih terawat keasliannya. Sejarah dan keberadaan masjid itu tak lepas dari nama besar Pondok Pesantren (Ponpes) Al Manshur.
Masjid tersebut berada di dalam gang di tengah perkampungan Dusun Popongan yang padat, sekitar 100 meter di barat jalan raya Jogja-Solo.
Di sekitar masjid berdiri bangunan-bangunan asrama maupun sarana pendidikan bagi para santri Ponpes Al Manshur. Ada bangunan baru, tapi ada sebagian bangunan lama yang masih dipertahankan keasliannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bangunan induk masjid ukurannya sekitar 8x12 meter dengan model joglo beratap bentuk tajug. Temboknya setinggi sekitar 7-8 meter, ditopang empat kayu jati utuh sebagai tiang penyangga.
Bangunan utamanya dibagi menjadi satu ruang utama untuk salat jamaah, satu ruang depan, dan dua ruang samping kanan dan kiri. Ruangan depan memiliki tiga pintu kusen kayu jati, yang tengah untuk mihrab tempat imam, samping kanan untuk mimbar kutbah, dan samping kiri dibiarkan kosong.
![]() |
Ukuran ruang depan, ruang kanan dan kiri lebih kecil dari ruang utama untuk salat. Untuk masuk ruang utama masjid dari arah serambi terdapat tiga pintu kusen kayu dengan ragam hias kaca patri warna pelangi di atasnya.
Di ruang samping dari arah depan terdapat masing-masing satu pintu masuk berupa kusen kayu, sehingga tampak dari serambi ada lima pintu. Dari ruang samping ke arah ruang utama masing-masing dihubungkan dua pintu masuk serupa.
Di ruang samping kiri masjid terdapat dua pintu masuk dengan penutup dan dua jendela. Di atas kusen pintu masuk tengah menuju ruangan utama terdapat prasasti kalimat tauhid berangka tahun Masehi 1926, Hijriyah 1345, dan Jawa 1857.
Di atas semua pintu terdapat tulisan lafaz Allah. Pada bagian depan masjid ada tambahan bangunan serambi yang cukup luas dan terdapat bedug kuno untuk penanda waktu salat.
Sesepuh Takmir Masjid, Muhammad Khoirudin (62) menuturkan sebelum berdirinya masjid, di Popongan ada keluarga Mbah Mustopo atau Mustofa yang memiliki delapan putra. Dari putra itu di antaranya H Fadhil dan H Karib, kakeknya.
"Antara Mbah Fadhil, Mbah Karib kakek saya, dan saudaranya, ingin Dusun Popongan terang dan jadi pusat ilmu. Mbah Fadhil memiliki putri namanya Kamilah yang kemudian dijodohkan dengan KH Muhammad Mansur," tutur Khoiruddin saat ditemui detikJateng, Rabu (12/4/2023) siang.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
KH Muhammad Mansur, jelas Khoirudin, merupakan santri Ponpes Jamsaren Solo dan putra dari KH Muhammad Hadi dari Ponpes Giri Kusumo, Mranggen, Kabupaten Demak.
Setelah menikah, KH Muhammad Mansur merintis pengajian tarekat Naqsyabandiyah sekitar tahun 1918 dan disusul mendirikan masjid bersama masyarakat.
"Lalu dibuatlah masjid yang dibangun Mbah Mansur bersama masyarakat. Pembangunan masjid itu selesai tahun 1926, atau tahun Jawa 1857 seperti yang ditulis di atas pintu," papar Khoirudin.
Dari pengajian tarekat dan keberadaan masjid itu, kata Khoirudin, jemaah semakin banyak. Mereka juga menitipkan anak-anaknya untuk belajar. Maka itu dibuatlah pondok pesantren di barat masjid secara gotong royong.
"Awalnya pondok sepuh di barat masjid itu, bangunan masih terawat. Beberapa ulama besar pernah belajar di sini, seperti KH Arwani (Kudus), Mbah Mangli, KH Ahmad Umar (Mangkuyudan), dan lainnya," papar Khoirudin.
Tamim Fadhili Munawir (73), cucu KH Fadhil menceritakan kakeknya memiliki putri bernama Kamilah. Setelah dewasa dicarikan jodoh oleh neneknya dengan seorang santri Ponpes Jamsaren Solo.
"Kebetulan Mbah Fadhil putri itu saudara dari KH Idris dari Ponpes Jamsaren. Lalu meminta putrinya dicarikan suami santri terbaik dan akhirnya dinikahkan dengan KH Muhammad Mansur dari Giri Kusumo, Mranggen, Demak," kata Tamim kepada detikJateng.
Awalnya sebelum ada masjid, kata Tamim, sudah ada musala yang dipimpin H Karib. Setelah KH Muhammad Mansur menikah dan tinggal di Popongan, musala digunakan untuk mengaji tarekat rintisan pondok tahun 1918.
"Setelah semakin ramai itu didirikan masjid itu 1926 selesai dan tukangnya dari Keraton Surakarta. Pondok yang dulu cuma tujuh kamar, juga terus berkembang semakin besar seperti sekarang ini menjadi Ponpes Al Manshur," pungkas Tamim.