Batik Tiga Negeri pernah menjadi jenis batik yang sangat melegenda, khususnya bagi masyarakat Sunda. Batik itu merupakan perpaduan batik Pekalongan, Lasem, dan Solo yang memiliki karakter yang kuat.
Perpaduan tiga daerah itulah yang kemudian menjadikan jenis batik ini disebut sebagai Batik Tiga Negeri.
Menurut salah satu penerus pembuatan Batik Tiga Negeri di Solo, Sumartono, keluarganya mengenal batik ini setelah ada pernikahan adik dari ibunya, Sie Djien Soen, dengan keluarga Tjoa Giok Tjiam. Sebelumnya, ayah Sumartono memproduksi batik tradisional dengan ciri khas warna-warni.
"Sekitar tahun 1970 adik ibu saya menikah dengan cucu Tjoa Giok Tjiam, lalu memberikan inspirasi jika kebutuhan Batik Tiga Negeri ini sangat banyak, dan menjadi peluang bisnis," kata Sumartono saat ditemui detikJateng di kantornya, Kamis (19/1/2023).
Karena mengikuti batik keluarga Tjoa Giok Tjiam, orang tua Sumartono kala itu mengikuti pakem yang diberikan, yaitu batik dengan dasar sogan. Batik dibuat dengan bahan dasar kain mori.
Sumartono menjelaskan, Batik Tiga Negeri ini memiliki pola dasar warna merah dengan pola boket dan burung yang identik dengan batik Lasem, lalu ada warna-warninya yang identik dengan batik Pekalongan, dan motif sogan yang identik dengan batik Solo.
Sebenarnya, ada beberapa pembatik lain di Kota Solo yang juga membuat batik jenis ini. Tapi mereka tidak hanya terfokus pada pembuatan Batik Tiga Negeri saja, tidak seperti keluarga Tjoa.
"Batik ini pola dasarnya atau boketnya dalam satu kain ada lima boket dengan menghadap sisi yang berlawanan. Kalau dibalik jadi beda gambar. Kadang-kadang dibuat pagi sore, dengan warna atau sogan tertentu," ucapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi pada tahun 1980-an, keluarga Sumartono dan Tjoa sudah berhenti memproduksi batik tiga warna. Hal ini disebabkan pembatik di Solo Raya dan Lasem sudah semakin berkurang.
Selain itu, penyebab lainnya yakni jenis batik lain banyak bermunculan dan harganya jauh lebih murah. Salah satunya adalah jenis batik cap.
"Kita juga tidak bisa pasang harga yang terlalu tinggi, karena pasarnya hanya di Sunda. Jadi waktu itu semakin tergerus zaman," katanya.
Terakhir, batik tiga negeri dibanderol Rp 250 ribu per kainnya. Sementara saat itu, batik jenis lainnya hanya dibanderol Rp 100 ribuan. Karena kian langkanya batik tiga warna, batik itu kini menjadi koleksi semata.
Di balik keelokan jenis batik ini, ada proses yang cukup panjang yang harus dilalui oleh para pengrajin batik hingga bisa menghasilkan karya sempurna. Salah satu penerus pembuatan Batik Tiga Negeri di Solo, Sumartono, mengungkapkan proses pembuatan batik ini membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan lamanya.
Bahkan, adanya beragam langkah yang harus dilakukan secara manual membuat proses pembuatan Batik Tiga Negeri bisa memakan waktu hingga tiga bulan lamanya.
"Pembuatan batik ini bisa sampai tiga bulan lamanya, karena semua proses dibuat secara manual," ungkap Sumartono.
Selain waktu yang lama, Sumartono melanjutkan, ada sejumlah risiko yang bisa terjadi selama proses berlangsung. Seperti kerusakan pada kain hingga serangan hama yang bisa mengancam kainnya.
"Risiko kain rawan rusak juga besar, karena saat diproduksi biasanya kain disimpan di dalam gudang beras, sehingga bisa dimakan hama yang membuat kainnya berlubang," tuturnya.
Hanya saja, mulai tahun 1980-an batik jenis ini sudah tidak lagi diproduksi. Martono begitu akrab disapa mengatakan, keluarganya sudah berhenti memproduksi batik tiga warna. Alasannya, pembatik di Solo Raya dan Lasem sudah semakin berkurang.
Selain itu, jenis batik lain seperti batik cap sudah banyak bermunculan dengan harga yang lebih murah. 'Lenyapnya' Batik Tiga Negeri dari peredaran tidak pelak membuatnya menjadi barang langka.
Para pencinta batik memilih untuk menyimpannya sebagai barang koleksi dibandingkan menjualnya meskipun harganya begitu tinggi. Begitu pula yang dilakukan oleh Martono yang memilih menyimpannya daripada melepaskan ke orang lain.
Sumartono mengaku masih menyimpan beberapa kain batik tiga negeri. Batik itu ia simpan untuk koleksinya. Meski ada banyak yang berminat untuk membeli batik itu, namun dia enggan menjualnya.
"Saat ini sudah puluhan juta, karena sudah semakin antik," ucap dia.
(apl/sip)