Filosofi Nrimo ing Pandum dan Pandangan Hidup Orang Jawa

Filosofi Nrimo ing Pandum dan Pandangan Hidup Orang Jawa

Tim detikJateng - detikJateng
Rabu, 12 Okt 2022 03:00 WIB
Abdi dalem Keraton Yogyakarta mengikuti Grebeg Maulud di komplek Keraton Yogyakarta, Kamis (29/10). Acara ini diselenggarakan dengan protokol kesehatan ketat.
Ilustrasi orang Jawa. Foto: Pius Erlangga/detikJateng
Solo -

Nrimo ing pandum merupakan salah satu sesanti atau nasihat dalam filosofi Jawa. Meski populer di telinga masyarakat, tak sedikit orang yang salah paham akan makna sesanti ini. Nrimo ing pandum sering dimaknai sebatas menerima, pasrah, dan berpangku tangan atas segala situasi atau musibah yang terjadi.

Karena salah paham atau salah pengertian terhadap konsep nrimo ing pandum, timbul kesan bahwa orang jawa cenderung pasif dan berpasrah diri. Menurut jurnal Nrimo Ing Pandum dan Etos Kerja Orang Jawa: Tinjauan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa (Jurnal Pancasila Vol 3 No 1, 2022), pengertian nrimo atau menerima itu tidak sepenuhnya salah, hanya saja kurang lengkap.

Dalam jurnal karya Silvia Maudy Rakhmawati, peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), itu disebutkan bahwa istilah nrimo ing pandum pada dasarnya diikuti oleh kalimat makaryo ing nyoto (bekerja secara nyata).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan demikian, sebelum nrimo ing pandum diterapkan, harus ada ikhtiar yang dilakukan terlebih dahulu. Adapun sikap nrimo atau berserah diri itu baru diamalkan setelah seseorang sudah melakukan daya upaya.

Menurut studi penelitian terdahulu mengenai konsep nrimo terhadap orang Jawa Muslim, Silvia menuliskan, meskipun nrimo memiliki dimensi negatif, konsep nrimo dapat direkonstruksi menjadi lebih positif.

ADVERTISEMENT

Hasil penelitian terdahulu itu menemukan bahwa nrimo dipahami sebagai karakter afektif yang mengatur seseorang untuk tetap tenang dalam menerima kenyataan hidup yang tidak diinginkan. Jadi, karakter nrimo adalah kombinasi dari rasionalitas manusia dan kehidupan emosional.

"Nrimo merupakan perpaduan aktif unsur kognitif dan afektif yang dapat menghasilkan optimisme dan kelangsungan hidup." (hlm 8).

Dalam simpulan jurnalnya, Silvia menyebutkan nrimo ing pandum merupakan falsafah hidup orang Jawa yang mengandung ajaran agar mensyukuri segala sesuatu yang telah diberikan, menerima secara penuh tanpa menuntut sesuatu yang lebih. Filosofi nrimo ing pandum merupakan representasi betapa orang Jawa memasrahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Konsep nrimo dalam filosofi tersebut berimplikasi pada kemampuan untuk menguasai diri serta memasrahkan sesuatu yang bukan kuasa manusia. Meskipun demikian, hal tersebut tidak mengajarkan manusia untuk berpangku tangan dan berputus asa.

Nrimo ing pandum merupakan alarm bagi manusia agar tidak terlalu tinggi dalam berharap. Dan, saat harapan itu tidak terwujud seperti yang diinginkan, manusia tidak larut dalam kesedihan.

"Nrimo ing pandum erat hubungannya dengan penerimaan diri dan berdamai dengan keadaan. Konsep nrimo ing pandum selaras dengan isi sila Ketuhanan Yang Maha Esa bahwa tidak ada satupun yang bisa mengubah ketetapan Tuhan, sebab takdir adalah wewenang mutlak-Nya." (hlm 17).




(dil/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads