Hukum adat merupakan kepercayaan turun temurun masyarakat daerah yang masih dianut sampai sekarang. Tiap daerah di Indonesia memiliki hukum adat sendiri, salah satunya di Jawa.
Hukum adat Jawa mengatur banyak hal, mulai soal tradisi upacara adat, tata cara pernikahan, upacara kematian, hingga soal pembagian warisan. Berikut hukum adat Jawa dalam hal membagi warisan.
Hukum Adat Jawa Soal Warisan
Dikutip dari jurnal Pembagian Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat Jawa (Studi Komparasi) (Prosa AS Vol 1 No 1, 2019), hukum waris adat mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke generasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam jurnal karya Agus Wantaka dkk, peneliti dari STAI Al Hidayah Bogor, disebutkan bahwa kata 'mewarisi' dalam anggapan tradisional orang Jawa ialah mengoperkan harta keluarga kepada keturunan atau anak selagi orang tua masih hidup. "Demikian pula dapat dilihat tidak ada perbedaan anak laki-laki dan perempuan dalam hal menerima harta warisan dari orang tuanya." (hlm. 20).
Sistem Kewarisan Adat Jawa
Masyarakat Indonesia mengenal 3 macam sistem kewarisan, yaitu sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan sistem kewarisan mayorat.
Sistem kewarisan individual ialah setiap waris dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Sistem ini seperti yang berlaku dalam masyarakat parental di Jawa.
Pewarisan saat Orang Tua Masih Hidup
Proses pewarisan ketika pewaris masih hidup dapat terjadi dengan berbagai cara yang berbeda, tetapi secara substansi tetap sama, di antaranya yaitu:
Penerusan atau Pengalihan (Lintiran)
Pengalihan atau penerusan adalah diberikannya harta kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan, sebagai bekal bagi anak-anaknya untuk melanjutkan hidup atau untuk membangun rumah tangga.
Penunjukan (Acungan)
Penunjukan (acungan) adalah pewaris menunjukkan penerusan harta waris untuk pewaris, akan tetapi hanya untuk pengurusan serta diambil manfaatnya saja. Tapi kepemilikan masih sepenuhnya milik pewaris.
Kalau penerusan atau pengalihan (lintiran) mengakibatkan berpindahnya penguasaan dan pemilikan atas harta kekayaan sebelum pewaris meninggal, maka dengan penunjukan (acungan) penguasaan dan pemilikan atas harta kekayaan baru berlaku sepenuhnya kepada waris setelah pewaris meninggal.
Pesan atau Wasiat (Welingan atau Wekasan)
Pesan (welingan) biasanya dilakukan pada saat pewaris sakit dan tidak bisa diharapkan kesembuhannya, atau ketika akan pergi jauh seperti berhaji. Cara ini baru berlaku setelah pewaris benar-benar tidak pulang atau benar-benar meninggal. Jika pewaris masih pulang atau belum meninggal, pesan ini bisa dicabut kembali.
Cara pewarisan saat orang tua sudah meninggal ada di halaman selanjutnya...
Pewarisan saat Orang Tua Sudah Meninggal
Norma pembagian harta warisan ini tergantung pada keadaan orang Jawa itu sendiri. Orang Jawa yang santri biasanya membagi warisan berdasarkan hukum Islam.
Sedangkan yang lain membagi berdasarkan hukum adat Jawa yang memberi dua kemungkinan, yaitu dengan cara sapikul sagèndhongan, atau semua anak mendapat warisan yang sama besarnya (cara dum-dum kupat atau sigar semangka).
Sapikul sagendhongan (satu pikul satu gendongan)
Maksud dari istilah itu ialah anak laki-laki mendapat bagian warisan dua (sapikul) berbanding satu (sagendhongan) dengan perempuan. Seperti halnya laki-laki yang memikul, ia membawa dua keranjang dalam pikulannya, yakni satu keranjang di depan dan satu keranjang lagi di belakang.
Sedangkan anak perempuan hanya membawa satu keranjang yang ia letakkan di punggungnya, atau yang biasa disebut digendong. Jadi maksudnya adalah bagian anak laki-laki dua kali lebih besar dari pada anak perempuan, sama halnya dalam hukum Islam.
Dum-dum Kupat atau Sigar Semangka
Pada masyarakat Jawa, sebagian besar pembagian waris menggunakan cara dum dum kupat atau sigar semangka, di mana bagian anak laki-laki dan perempuan sama dan seimbang. Sebab, ada anggapan bahwa semua anak sama-sama akan membangun keluarga yang memerlukan banyak modal.
Bagian yang sama besarnya ini dimaksudkan sebagai modal berumah tangga. Dengan sistem ini dirasa adil, sebab baik istri maupun suami sama-sama menyumbang atau membantu membangun ekonomi bagi keluarganya sendiri.