Gelar Raja Jogja-Solo Beda Meski Sama-sama Mataram Islam, Ini Penyebabnya

Gelar Raja Jogja-Solo Beda Meski Sama-sama Mataram Islam, Ini Penyebabnya

Heri Susanto - detikJateng
Rabu, 27 Jul 2022 18:12 WIB
Raja Willem Alexander bersama Ratu Maxima dari Belanda mengunjungi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Rabu (11/3/2020). Setibanya di Keraton Yogya, Raja dan Ratu Belanda disambut Raja Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X beserta keluarga.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Rabu (11/3/2020). Foto: Pradito Rida Pertana/detikcom
Yogyakarta -

Kesultanan Jogja dan Kasunanan Solo sama-sama kerajaan bercorak Mataram Islam. Namun gelar Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Jogja) dan Raja Keraton Surakarta Hadiningrat (Solo) berbeda. Apa alasannya?

Diketahui, Raja Keraton Jogja bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono dan Raja Keraton Solo bergelar Sri Susuhunan (Sunan) Pakubuwono.

Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Widya Budaya Keraton Jogja KRT H Rintaiswara menjelaskan perbedaan gelar Sultan dan Sunan ini terjadi saat proses negosiasi dengan VOC sebelum Perjanjian Giyanti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jauh sebelumnya (Perjanjian Giyanti) dari VOC ada perundingan dengan Pangeran Mangkubumi tentang berbagai macam negosiasi. 'Saya bergelar Sultan bukan Sunan'. VOC kaget, 'lha kok Sultan?'. Sunan itu gelar tertinggi para wali tertinggi agama. Sedangkan (Sultan) ini gelar umara atau pemimpin negara," kata Rintaiswara, saat Workshop Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman dalam perspektif Islam yang digelar MUI DIY di Masjid Jogokariyan, Kota Jogja, Rabu (27/7/2022).

Ia menjelaskan, gelar Sultan ini merupakan salah satu pernyataan Pangeran Mangkubumi selain pernyataan lain saat negosiasi Perjanjian Giyanti. Yaitu soal ibukota negara harus di selatan Gunung Merapi dan status raja Pangeran Mangkubumi bukan karena pemberian Belanda, tapi dari rakyatnya saat itu.

ADVERTISEMENT

"'Saya harus bertakhta ibukota saya harus terletak di selatan Gunung Merapi tlatah Mataram'. VOC bersikeras 'ora keno ning kene cedak ro (tidak boleh di sini dekat dengan) Solo, engko ndak (nanti bisa) bersatu'," katanya.

VOC, lanjut Rintaiswara, saat itu menginginkan Pangeran Mangkubumi untuk bertakhta di Surabaya. Tapi, keinginan VOC itu ditolak mentah-mentah Pangeran Mangkubumi. Bahkan Pangeran Mangkubumi mengancam perang jika VOC memaksakan di Surabaya.

"'Kowe kudu ning (kamu harus di) Surabaya' VOC-nya. Sing (yang) Pangeran Mangkubumi, 'nek ora gelem ngono perang yo perang (kalau nggak mau perang ya perang)'," katanya.

"'Saya menjadi raja karena rakyat saya, wilayah saya yang saya rebut. Penduduk yang ada di situ adalah milik saya'," lanjutnya mengutip perkataan Pangeran Mangkubumi saat itu.

Naga di kamandungan Keraton Solo, Jumat (31/12/2021).Keraton Solo, Jumat (31/12/2021). Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikcom

Sementara itu, budayawan dari Muhammadiyah, Ashad Kusuma Djaya menjelaskan pengangkatan raja di Nusantara ini tak pernah lepas dari Sunan Giri.

"Dulu sebelum Sultan Agung, semua raja di Nusantara itu yang mengangkat adalah Sunan Giri," katanya.

Tapi saat masa Sultan Agung, kata Ashad, posisi Sunan Giri sebagai patron mulai digeser. Ini karena Sultan Agung mulai melihat Giri Kedaton tak mampu melawan intervensi Eropa.

"Kemudian, pada saat Sultan Agung menganggap Giri Kedaton tidak mampu melawan intervensi Eropa, kemudian langsung ke Turki sebagai patron," katanya.

Bagi raja yang diangkat Sunan Giri, kata Ashad, selalu bergelar Susuhunan. Ini terlihat dari teks Perjanjian Raja Bali Tawang Karom tahun 1700-an, yang bergelar Susuhunan.

"Kalau kita lihat dalam perjanjian-perjanjian Raja Bali, yang sekarang dianggap pusat Hindu, gelarnya Susuhunan. Banyak Raja Bali Susuhunan gelarnya karena pengaruh Sunan Giri," katanya.




(rih/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads