Kebo Bule Keraton Solo, Sejarah hingga Perannya dalam Kirab Malam 1 Suro

Kebo Bule Keraton Solo, Sejarah hingga Perannya dalam Kirab Malam 1 Suro

Tim detikJateng - detikJateng
Senin, 25 Jul 2022 13:14 WIB
Kirab kerbau bule di malam 1 Suro, Solo, Selasa (11/9/2018).
Kirab kerbau bule di malam 1 Suro, Solo, Selasa (11/9/2018). (Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikJateng)
Solo -

Enam ekor kebo bule milik Keraton Solo masih menderita penyakit mulut dan kuku (PMK). Pihak Keraton belum memutuskan apakah dalam kirab malam 1 Suro akan menghadirkan kawanan kebo bule atau tidak. Apa arti penting kebo bule dalam kirab malam 1 Suro di Solo? Berikut penjelasannya.

Diberitakan sebelumnya, satu kebo bule dewasa milik Keraton Solo yang bernama Nyai Apon mati pada Kamis (21/7) pekan lalu. Tiga hari kemudian, Minggu (24/7), satu bayi kebo bule yang baru berumur sehari juga mati karena kekurangan asupan makanan. Sebab, induknya yang bernama Nyai Juminten juga sedang menderita PMK.

Kondisi ini menyebabkan sebagian orang bertanya-tanya, apakah kawanan kebo bule tetap akan dihadirkan dalam kirab malam 1 Suro? Mengenai hal itu, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menyatakan pihaknya harus berkoordinasi dengan keraton dan Dinas Peternakan, Ketahanan Pangan dan Perikanan (DPKPP) Solo.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau sejauh ini diizinkan, tapi kalau melihat kebonya ada PMK ya nanti kita liat dulu ya. Kita tahun ini Suro-nya sudah seperti tahun-tahun yang sebelumnya kok, boleh meriah," kata Gibran di Loji Gandrung, Jumat (22/7) pekan lalu.

Sejarah Kebo Bule Keraton Solo

Seperti diketahui, kawanan kebo bule selama ini menjadi pembuka kirab malam 1 Suro di Keraton Solo. Tugas kawanan kebo bule itu ialah mengawal pusaka Keraton Solo yang dikirab pada malam tersebut. Tahun ini, malam 1 Suro jatuh pada Jumat malam (29/7/2022).

ADVERTISEMENT

Menurut jurnal Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet dalam Kirab 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta (Jurnal Komunikasi Massa UNS, 2014), pelibatan kerbau sebagai kelengkapan ritual itu sudah sejak zaman Hindu.

Dalam jurnal karya Riza Ayu Purnamasari dan Prahastiwi Utari itu disebutkan, pewarisan tradisi dari satu kerajaan yang lebih tua ke kerajaan setelahnya menjadi salah satu faktor kenapa kerbau juga masih ada dalam upacara hingga saat ini.

Selain kawanan kebo bule menjadi pengawal pusaka Keraton Solo dalam kirab malam 1 Suro, kerbau biasa juga digunakan sebagai kelengkapan ritual Mahesa Lawung.

Mengenai ritual Mahesa Lawung, silakan baca di halaman selanjutnya...

Kerbau dalam Ritual Mahesa Lawung

Ritual Mahesa Lawung diselenggarakan pada Senin atau Kamis dalam bulan Bakda Mulud di kalender Jawa. Mahesa Lawung merupakan ritual menanam kepala kerbau biasa (bukan kebo bule).

Menurut KGPH Dipokusumo, salah satu narasumber dalam jurnal tersebut yang diwawancara pada 2012, kerbau memiliki peranan penting pada zaman Hindu. Pada zaman itu, lembu atau sapi tidak dipergunakan. Sebab, dalam filosofi ajaran Hindu, sapi adalah kendaraan Bethara Guru.

Oleh sebab itu, selain untuk membajak, menarik pedati dan pekerjaan harian lainnya, kerbau pada zaman Hindu juga dilibatkan dalam kelengkapan ritual-ritual.
Ritual-ritual Hindu yang menggunakan kerbau itu pun diwariskan secara turun-temurun hingga berasimiliasi dalam perkembangan zaman selanjutnya, yaitu zaman kerajaan Islam.

Buktinya, kirab malam 1 Suro yang melibatkan kawanan kebo bule dan ritual menanam kepala kerbau dalam Mahesa Lawung masih dilaksanakan sampai sekarang.

Kebo Bule Klangenan 'Penunjuk' Lokasi Keraton Baru

Dalam laman resmi Kepustakaan Keraton Nusantara milik Perpusnas, yang menyadur Babad Solo karya RM Sajid, disebutkan bahwa kebo bule adalah klangenan atau hewan kesayangan Paku Buwono (PB) II.

Leluhur kerbau berkulit putih agak kemerah-merahan itu hadiah untuk PB II dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo. Hadiah itu diberikan saat PB II hendak pulang dari Ponorogo untuk kembali ke Keraton Kartasura yang porak poranda akibat peristiwa Geger Pacinan.

Ceritanya, kebo bule itu dihadiahkan untuk cucuk lampah (pengawal) dari pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet.

"Karena bertugas menjaga dan mengawal pusaka Kyai Slamet, maka masyarakat menjadi salah kaprah menyebut kebo bule ini sebagai Kebo Kyai Slamet,'' kata Wakil Pengageng Sasono Wilopo Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Aryo (KRA) Winarno Kusumo, dikutip dari Perpusnas.

Konon, saat PB II sedang mencari lokasi untuk keraton baru pengganti Istana Kartasura pada 1725, leluhur kebo-kebo bule itu dilepas liar. Akhirnya, kebo-kebo bule itu berhenti di lokasi yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.

Kini, tiap malam 1 Suro dalam penanggalan Jawa atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Hijriah, kawanan kebo bule yang dikeramatkan ini selalu menjadi cucuk lampah (pengawal) dalam prosesi kirab sejumlah pusaka Keraton Kasunanan Surakarta.

Halaman 2 dari 2
(dil/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads