Keraton Jogja masih aktif menyiarkan ajaran Islam melalui berbagai program yang digawangi oleh Abdi Dalem Pengulon. Sebagai salah satu kerajaan Islam yang masih lestari, Abdi Dalem Pengulon tetap eksis untuk membangun agama Islam di keraton dan sekitarnya.
Dikutip dari website Keraton Jogja kratonjogja.id, Selasa (3/5/2022), kata 'pengulon' berasal dari kata 'pengulu' atau 'penghulu'. Abdi Dalem Pengulon di Keraton Jogja bertugas menikahkan putra dan putri keraton.
"Posisi semacam itu sekarang sudah tidak ada lagi. Namun, Abdi Dalem Pengulon tetap eksis untuk membangun agama Islam di keraton dan sekitarnya," demikian tertulis dalam artikel tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tugas utama Abdi Dalem Pengulon adalah menyampaikan nilai-nilai keutamaan Islam di luar tembok keraton. Kebanyakan di masjid-masjid Kagungan Dalem lewat forum-forum majelis yang terbuka untuk umum. Peran ini berbeda dengan Abdi Dalem Kanca Kaji yang berkewajiban melaksanakan kegiatan keagamaan di dalam lingkup cepuri.
Salah seorang Abdi Dalem Pengulon Keraton Jogja yakni Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Zhuban Hadiningrat. Pria asal Jawa Timur ini awalnya datang ke Jogja untuk menuntut ilmu namun di Kota Jogja dia bertemu dan menikahi putri dari saudara Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Kanjeng Zhuban perlahan-lahan mengenal lingkungan dan keluarga Keraton Jogja. Saat sang ayah mertuanya meninggal pada tahun 1990-an, Kanjeng Zhuban diminta oleh mendiang GBPH Joyokusumo, Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura kala itu untuk bergabung dengan keraton untuk mengembangkan agama Islam di Jogja.
Pria bernama asli Drs H.Syaifuddin Anwar ini telah membaktikan diri kepada Keraton Jogja selama lebih dari tiga dekade. Awalnya Kanjeng Zhuban menjabat sebagai Wakil Penghageng Pengulon. Namun, seiring perubahan struktur yang meniadakan jabatan pengulu (penghulu), Kanjeng Zhuban kemudian bertugas sebagai Pengirit hingga sekarang.
Selain melantunkan doa-doa dalam majelis serta upacara-upacara adat, seperti sugengan dan kuthamara bersama Kanca Kanji, Abdi Dalem Pengulon berperan sentral dalam peringatan hari besar keagamaan, seperti Maulud Nabi dan Isra Mikraj. Dalam upacara Garebeg di Masjid Gedhe, misalnya, mereka bertugas menerima gunungan yang hadir dalam kawalan prajurit keraton.
Tugas Abdi Dalem Pengulon di Keraton Jogja bisa dibilang padat karena banyaknya kegiatan yang harus mereka jalani. Setiap malam Selasa Kliwon, dua lapan sekali misalnya, mereka mengadakan 'Bukhoren' yaitu kajian kitab-kitab hadis Al Bukhari.
Selain itu ada pula kajian yang digelar pada setiap Jumat Wage dan Senin Pon. Pada bulan Ruwah, sebelum datangnya puasa Ramadan, mereka berziarah ke makam-makam Kagungan Dalem dalam tradisi yang disebut Kuthamara.
Saat memasuki malam ke-21 bulan Ramadan, mereka memimpin jemaah beribadah menyambut lailatulqadar. Inilah yang disebut malam selikuran.
Tugas lain yang diemban Abdi Dalem Pengulon adalah menyusun buletin dakwah sebulan sekali. Kanjeng Zhuban membuatnya bersama tim kajian yang terdiri dari tokoh-tokoh dari UIN dan pondok-pondok pesantren di Jogja.
Buletin yang dibagikan di masjid-masjid Kagungan Dalem ini awalnya ditulis dalam Bahasa Jawa, tetapi belakangan disajikan dalam dua bahasa, Jawa dan Indonesia.
Di luar upacara keagamaan, Abdi Dalem Pengulon juga terlibat dalam pemeliharaan masjid-masjid Kagungan Dalem, mulai dari urusan legalitas hingga renovasi.
"Nyaman sekali karena di sini ternyata setiap aktivitas keraton merupakan aktivitas yang sangat religius, terlaksana, dan terdampingi dengan sedekah-sedekah," kata Zhuban.
Menurutnya, sedekah merupakan bentuk pengayoman dari Sultan. Setelah menjadi Abdi Dalem Pengulon, Kanjeng Zhuban mengungkap seperti sedang menyibak tabir yang membuatnya paham bahwa praktik-praktik kultural di keraton tidak bertentangan dengan ajaran agama. Keduanya, kata Zhuban, berjalan seiring.
"Menambah pengertian bahwa antara agama dengan keraton sinkron dan setiap kegiatan keraton mengacu pada ajaran agama. Di situlah ketemunya. Dan (itu pengalaman) paling berkesan sampai sekarang," tuturnya.
"Masyarakat belum paham. Sering mahasiswa menemui saya dan minta penjelasan. (Sebelumnya mereka menganggap keraton) tempatnya orang syirik, tetapi setelah saya beri penjelasan banyak yang suka," jelas Zhuban.
Perjalanan Hidup KRT Zhuban
Alumni Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) ini juga merupakan seorang kontraktor proyek sipil yang pernah menjabat pemimpin cabang perusahaan dan bergabung dalam organisasi gabungan pengusaha kontraktor. Kiprahnya melebar ke politik hingga pernah terpilih menjadi Wakil Ketua II DPRD Sleman. Namun, di kemudian hari ia memilih mundur ketika dihadapkan dengan praktik politik yang tak sehat.
Saat ini Kanjeng Zhuban sudah jauh mengurangi kegiatan yang bersifat duniawi. Kanjeng Zhuban juga mengaku sudah tak memiliki ambisi pribadi yang terkait materi meski kini juga masih bekerja sebagai konsultan untuk beberapa pekerjaan konstruksi.
"(Seiring) usia, cita-cita baik di keraton maupun di luar keraton saat muda dahulu sudah tidak ada lagi. Di keraton saya tidak ingin pangkat naik, gaji naik. Hanya saya ingin, bagaimana kalau sudah terpanggil, baik di keraton maupun di masyarakat, saya ada sejarah. Dahulu pernah sumbang saran," terangnya.
Di luar keraton, Kanjeng Zhuban menjadi sesepuh dan takmir di Masjid Ngampilan yang berada di tempat tinggalnya. Sang istri telah wafat pada beberapa tahun lalu, meninggalkan empat orang anak. Zhuban yang kerap disapa Kanjeng di lingkungan rumahnya ini juga kini disibukkan dengan undangan dari berbagai masjid di seputar Jogja untuk memberikan tausiah, baik untuk peringatan hari besar maupun khotbah Jumat.
Walau tak lagi muda, Kanjeng Zhuban merasa semua kegiatan yang dijalani justru membuatnya sehat dan mendatangkan manfaat, misalnya mencegah kepikunan dan mendatangkan saudara.
Jika ditarik lebih ke belakang, Kanjeng Zhuban sudah mengenal dekat Sri Sultan HB X yang saat itu menjabat sebagai Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia). Kala itu Kanjeng Zhuban menjadi anggota di organisasi tersebut serta sering memimpin doa dalam berbagai forum yang mereka adakan.
"Dengan adanya itu saya cukup mempunyai pandangan Ngarsa Dalem itu begitu merakyat, santun. Saya mendapatkan contoh atau tuntunan, itulah pemimpin yang bisa kita ikuti," kata Kanjeng Zhuban.
Dia mengaku sering merekam pidato-pidato Ngarsa Dalem menyangkut masalah kenegaraan atau kedaerahan lalu menyampaikannya kembali karena tertarik dengan redaksionalnya. Abdi Dalem yang gemar bersepeda ini berpesan kepada generasi muda untuk tidak membuat jarak dengan keraton, karena keraton merupakan sumber pembelajaran dan banyak memiliki program pengembangan agama Islam.
"Alhamdulillah, saya betul-betul semeleh. Menyadari usia, mau apalagi, wong semua sudah ada yang ngatur di sana," katanya.
"Kita semeleh-nya itu tawakal. Apa pun yang saya mau kalau Tuhan nggak mau, tidak akan terjadi. Apa pun yang saya minta kalau Tuhan ngersaake (menghendaki) pasti akan dikabulkan. Begitu saja. Semeleh-nya saya begitu," pungkasnya.
(sip/skm)