Temboknya Dijebol, Keraton Kartasura Dulu Hancur Saat Geger Pecinan

Temboknya Dijebol, Keraton Kartasura Dulu Hancur Saat Geger Pecinan

Bayu Ardi Isnanto - detikJateng
Senin, 25 Apr 2022 14:53 WIB
Warga duduk di depan alat berat yang digunakan untuk menjebol tembok benteng Keraton Kartasura di Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (23/4/2022). Benda cagar budaya (BCB) peninggalan Keraton Kartasura tersebut dirobohkan pemilik lahan dengan alat berat dan akan dimanfaatkan sebagai lokasi usaha dan kasus tersebut masih dalam penyelidikan Kepolisian dan BPCB Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/aww.
Tembok Eks Keraton Kartasura Dijebol Pakai Ekskavator. Foto: Antara Foto/Mohammad Ayudha
Sukoharjo -

Tembok eks Keraton Kartasura di Kampung Krapyak, Kelurahan Kartasura, Sukoharjo, secara mengejutkan dijebol oleh orang yang mengaku sebagai pemillik lahan. Bangunan berumur lebih dari tiga abad ini dahulunya runtuh dalam pemberontakan yang dikenal sebagai Geger Pecinan.

Dalam artikel ketiga ini, detikJateng mengulas tentang sejarah runtuhnya Keraton Kartasura. Sedangkan sejarah awal Keraton Surakarta bisa dibaca di dua artikel sebelumnya, Sejarah Berdirinya Keraton Kartasura yang Kini Temboknya Dijebol Warga dan Sejarah Awal Keraton Kartasura Hingga Perang Suksesi Jawa.

Keraton Kartasura didirikan sekitar 1680 oleh Raden Mas Rahmat yang kemudian bergelar Amangkurat II, yakni pemimpin kelima dari Kerajaan Mataram Islam. Sebelumnya, ibu kota Mataram beberapa kali pindah, mulai dari Kutagedhe (Kotagede), Plered, dan terakhir Kartasura.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perpindahan dari Plered ke Kartasura bermula dari konflik antara Amangkurat I dengan putranya yang bernama RM Darajat atau Pangeran Puger (kelak menjadi Pakubuwono I).

"Konflik ini berkaitan dengan pemberontakan Trunajaya, hingga Pangeran Puger dianggap terlibat dalam pemberontakan Trunajaya," kata Dosen Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Leo Agung saat dihubungi detikJateng, Senin (25/4/2022).

ADVERTISEMENT

Ketika Trunajaya menyerang Plered, Amangkurat I dan RM Rahmat sudah mengungsi, serta meninggalkan Pangeran Puger. Puger sempat memberi perlawanan terhadap Trunajaya. Namun, karena kalah, Puger pun juga mengungsi. Setelah Trunajaya kembali ke Kediri, Puger kembali ke Plered dan mengangkat dirinya sebagai raja.

Sementara itu, Amangkurat I wafat dalam pelariannya dan RM Rahmat meneruskan ayahnya menjadi Amangkurat II (1677-1703). Karena tidak memiliki istana, Amangkurat II mendirikan keraton baru di Kartasura dibantu oleh VOC.

Di Kartasura, pemberontakan demi pemberontakan terus terjadi. Setelah Amangkurat II, suksesi berlanjut kepada putranya yakni Amangkurat III (1703-1705), kemudian berpindah kepada adik Amangkurat II yaitu Pakubuwono I (1704-1719).

Setelah Pakubuwono I, kekuasaan Kartasura dilanjutkan oleh putranya yaitu Amangkurat IV (1719-1726), hingga kemudian berlanjut kepada putra Amangkurat IV yang bergelar Pakubuwono II (1726-1742).

Pada masa Pakubuwono II inilah terjadi pemberontakan yang dilakukan masyarakat Tionghoa kepada VOC di Batavia. Pemberontakan itu kemudian merembet ke berbagai daerah.

Meski pada awalnya sempat mendukung pemberontakan masyarakat Tionghoa, Pakubuwono II pada akhirnya mendekat ke VOC. Sehingga kelompok yang tertindas oleh VOC, terdiri dari gabungan masyarakat Tionghoa dan Jawa, menganggap Pakubuwono II sebagai lawannnya.

Dengan tokoh RM Said (keponakan Pakubuwono II) dan RM Garendi (cucu Amangkurat III) serta didukung masyarakat Jawa-Tionghoa, terjadilah pemberontakan besar yang terkenal dengan Geger Pecinan. Akibatnya, Pakubuwono II meninggalkan Kartasura, menyelamatkan diri ke Ponorogo.

"Kedudukan para pemberontak ini sangat kuat karena didukung para bupati. Serangan itu sangat kuat, pemberontak bisa membobol keraton (Kartasura) hingga membuat Pakubuwono II melarikan diri," kata Leo Agung.

Beberapa waktu kemudian, Pakubuwono II dibantu Belanda melakukan serangan balik ke Kartasura sehingga berhasil merebut takhta. Namun karena kondisi Keraton Kartasura sudah hancur, Pakubuwono II memilih mendirikan keraton baru di Desa Sala.

"Karena keraton sudah rusak, orang dulu menganggap akan sial kalau masih dipakai. Makanya (Pakubuwono II) membangun Keraton Surakarta di Desa Sala," terang Leo Agung.

Hingga kini, sisa-sisa Keraton Kartasura masih dapat terlihat. Beberapa di antaranya ialah cepuri atau istana dan tembok yang disebut-sebut sebagai bagian Baluwarti.

Tembok Baluwarti inilah yang dijebol warga karena hendak dijadikan tempat usaha dan indekos. Kini, polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Negeri Sipil (PPNS) Cagar Budaya masih melakukan penyelidikan untuk menetapkan sanksi bagi pelaku.




(dil/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads