Wayang gagrak (gaya) pesisiran Lasem merupakan kesenian asli dari Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang yang moncer pada era 1990-an. Kesenian ini cukup unik karena tidak sembarang dalang bisa menguasai pementasan wayang gagrak Lasem.
Salah satu pelestari budaya Lasem, Yon Suprayoga, menjelaskan wayang gagrak Lasem terbilang sulit bahkan hanya dalang tertentu saja yang bisa memainkannya. Sebab, iringan gamelan dalam gelaran wayang ini harus bernada slendro dan tidak boleh ada nada pelog.
"Gamelannya yang mengiringi harus slendro, kalau pelog sudah tidak bisa," terang Yon kepada detikJateng.
Nada slendro itu, lanjut dia, menggambarkan suasana yang megah namun sunyi, muram namun tenang, sunyi dan mengandung harapan. Berbeda dengan pelog yang menggambarkan suasana gagah perkasa, dan agung.
"Makanya ini salah satu yang menjadikan kesulitan kalau mementaskan. Mulai dari awal sampai akhir itu slendro semua, tidak boleh ada pelog," jelasnya.
Wayang gagrak pesisiran Lasem merupakan induk dari wayang gagrak yang ada di beberapa daerah. Seperti wayang gagrak Solo, wayang gagrak Jogja, wayang gagrak Kebumen, dan lain sebagainya.
"Pagelaran wayang ini sendiri memiliki ciri khas yang berbeda dengan wayang gagrak pada daerah lain. Perbedaan itu terletak pada awal pentas wayang gagrak Lasem yang selalu diawali dengan permainan wayang golek," katanya.
Ia menambahkan, wayang gagrak Lasem juga memiliki ciri khasnya dari tokoh-tokohnya, yakni Ratu, Patih Alus, Patih Kasar, Emban Ayu, Emban Elek, Golek Ayu dan Kyai Regol. Hal unik dari ketujuh wayang golek ini, setiap wayang boleh diberi nama atau tokoh sesuai dengan kebutuhannya, hanya Kyai Regol yang tidak boleh diganti.
Kyai Regol harus tetap menjadi Kyai Regol. Dia tidak bisa menjadi Arjuna, tidak bisa Duryudana, tidak bisa menjadi dewa, tidak bisa menjadi Sengkuni, Bisma ataupun Dorna dan berbagai karakter lain.
"Semua pemerannya bisa jadi apa saja kecuali satu, namanya Mbah Regol. Mbah Regol itu semacam representasi dari rakyat Lasem, ini yang tidak boleh berubah," bebernya.
![]() |
Kepopuleran wayang gagrak pesisiran Lasem kini kian meredup seiring berkembangnya zaman. Terlebih tingkat kesulitannya yang terbilang tinggi, membuat hanya dalang tertentu yang bisa memainkannya.
Menurut Yon, kini hanya menyisakan dua orang dalang saja yang bisa memainkan kesenian asli dari Lasem yang lahir dari penggabungan gagrak Cempo (wayang China) dan gagrak Majapahit itu.
Kedua dalang itu yakni Ki Sahir Desa Jolotundo dari Desa Jolotundo, Kecamatan Lasem dan dan Ki Kartono Desa Sendangasri, Kecamatan Lasem. Upaya pengkaderan hingga saat ini belum maksimal dan dikhawatirkan punah lantaran tak ada lagi yang sanggup memainkannya.
Ditemui di kediamannya, Ki Sahir mengatakan yang bisa meneruskan kesenian wayang gagrak Lasem sebelumnya ada 4 orang. Mereka adalah Ki Sahir Desa Jolotundo, Ki Ramelan Desa Doropayung, Ki Priyodari dan Ki Kartono Desa Sendangasri.
Namun dua di antara empat dalang itu sudah meninggal dunia. Sehingga kini hanya menyisakan dirinya dan Ki Kartono saja yang mampu mementaskan wayang gagrak Lasem.
"Setelah dalang yang tua-tua itu sudah tidak ada, yang bisa meneruskan wayang gagrak Lasem itu Ki Sahir, Ki Ramelan, Ki Priyodari, dan Ki Kartono. Kemudian dalang Ramelan Doropayung sudah kapundhut (meninggal), Ki Priyodari juga sudah kapundhut. Hanya tinggal saya dan Mas Kartono," bebernya.
Ki Sahir mengakui, saat ini sudah mulai muncul beberapa orang yang tertarik untuk belajar kesenian wayang. Termasuk dalang pewayangan umum di wilayah Rembang yang mulai mempelajari pementasan wayang gagrak Lasem.
"Saya sangat terbuka dan berterima kasih jika ada yang mau belajar dan melestarikan kesenian asli dari Lasem ini," pungkasnya.