Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng) telah resmi menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tahun 2026. Pengusaha dan buruh sama-sama merasa kecewa dengan alasan berbeda.
Diketahui, UMP Jateng 2026 kini mencapai Rp 2,3 juta. UMK tertinggi dimiliki Kota Semarang yakni Rp 3,7 juta. Sementara UMSK 2026 ditetapkan untuk 33 sektor di lima kabupaten/kota, yakni Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Tegal. Kabupaten Jepara tak lagi menerapkan UMSK.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Jateng yang juga masuk dalam Dewan Pengupahan Provinsi Jateng, Karmanto mengatakan, penetapan UMP 2026 memang sesuai dengan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau mengenai UMP memang sudah sesuai dengan rekomendasi dan kesepakatan di dua pengupahan. Jadi tidak ada pergeseran atau perubahan nilai di bawah dari sidang dewan pengupahan provinsi," kata Karmanto saat dihubungi detikJateng, Rabu (24/12/2025).
Namun, yang jadi persoalan adalah penetapan UMSK. Ia menilai kebijakan tersebut justru mencerminkan kemunduran perlindungan upah, karena ada beberapa sektor yang dihapuskan, bahkan di Kabupaten Jepara sudah tak dipakai.
"Kita sangat kecewa dengan pemerintah karena memang kami berharap apa yang sudah ditetapkan kemarin jangan dihilangkan. Ini kan berarti mengalami degradasi upah atau kemunduran bahasanya," tegasya.
Menurutnya, sejumlah sektor unggulan justru dihapus dari daftar UMSK 2026. Padahal sektor-sektor tersebut dinilai memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian daerah.
"Sektor di Jepara itu semua sektor hilang total karena UMSK tidak ada. Kalau di Kota Semarang itu ada sektor garmen, konveksi, pakaian jadi, hilang," tuturnya.
"Terus ada yang kita usulkan furniture itu juga tidak ada. Jadi memang kemunduran ini Kota Semarang karena tadinya di 2025 ada sektor-sektor, tapi di sini malah hilang," sambungnya.
Padahal, menurutnya, sektor-sektor itu menyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) besar, pertumbuhan industrinya tinggi, dan berorientasi ekspor.
"Jawa Tengah ini kondisi upahnya belum 100 persen KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Jadi melalui upah sektoral ini kami berharap sektor-sektor unggulan bisa masuk dalam upah minimum sektoral," jelasnya.
Karmanto mengaku khawatir, meski upah minimum mengalami kenaikan, besaran tersebut tetap belum mampu mencukupi kebutuhan hidup buruh. Sehingga daya beli masyarakat berpotensi melemah.
"Saya memprediksi, manakala upah ini masih kondisinya seperti ini, daya beli masyarakat akan lemah karena mereka akan save money, mereka akan berhati-hati untuk mengeluarkan uang," ujarnya.
Respons Apindo Jateng
Sementara itu, kalangan pengusaha juga keberatan. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng, Frans Kongi mengaku kecewa dengan keputusan pemerintah yang menggunakan alpha 0,9 dalam formula kenaikan upah.
"UMP kita agak kecewa karena Pak Gubernur menetapkan alpha 0,9, itu paling tinggi. Padahal kontribusi pekerja itu sampai 90 persen dari pertumbuhan produk domestik di daerah," kata Frans.
"(Alpha 0,9) Itu terlalu tinggi seolah-olah kontribusi pengusaha tidak masuk di situ. Kita agak kecewa. Harapan kita sebenarnya di angka 0,7 alphanya," lanjutnya.
Selain itu, tambah Frans, kondisi global yang belum stabil juga menjadi pertimbangan utama pengusaha. Ia menyebut kondisi ekonomi kini belum baik-baik saja.
"Kita belum baik-baik saja. Luar negeri juga begitu, geopolitik juga belum mendukung. Belum lagi nanti ada tarif Trump, goyah. Terus keuangan juga ,nilai tukar kita, itu semua hal kita perhitungkan," ucapnya.
Frans juga mengingatkan, Jateng tengah berupaya menarik investor padat karya. Kenaikan upah yang terlalu tinggi dikhawatirkan mengurangi daya tarik investasi dan berdampak pada keberlanjutan usaha.
"Kita mau industri kita ini maju, tetap berjalan, buruh tetap punya pekerjaan dengan ada peningkatan pendapatan dan pemerintah dapat pajak," imbuhnya.
Soal penghapusan sejumlah sektor UMSK, Frans justru menilai langkah tersebut sudah tepat. Menurutnya, penetapan upah sektoral harus memenuhi syarat tertentu dan dikaji secara mendalam.
"Memang harus begitu (penghapusan UMSK). Kita perjuangkan begitu, UMSK harus dikaji. Nggak bisa kita tentukan, misal sektor garmen, nggak masuk dalam kategori sektoral. Jadi, Jepara sudah betul. Daerah-daerah lain kita harapkan ikut begitu," sarannya.











































