Ilustrator asal Solo, Sony Wicaksono Putro (26), dipercaya Sony Pictures untuk membuat poster film Venom ke-3 bertajuk Venom: The Last Dance. Berikut kisahnya.
Kepada detikJateng, Kamis (28/10), pria kelahiran Solo tahun 1998 itu mengaku gemar menggambar dan mewarnai sejak kecil. Sejak TK hingga SMP, dia sering diikutkan lomba mewarnai hingga lomba bikin poster oleh orang tuanya.
Beberapa kali Sony meraih juara. Tapi dulu dia menganggap itu hanya bonus dari hobi dan bakatnya. Sony mulai serius mendalami seni sejak 2014, ketika dia sekolah di Jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) SMK Negeri 9 Solo. Di sana dia banyak mendapatkan ilmu tentang desain hingga branding.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu pula Sony mulai tertarik lebih dalam pada karya gambar ilustrasi. Awalnya,dia mengeksplorasi soal dunia ilustrasi lewat Instagram dengan mengikuti akun-akun illustrator kondang asal Indonesia.
Cara menggambar, komposisi, pewarnaan, hingga karya-karya para ilustrator itu betul-betul dicermati oleh Sony. Dari situ dia jadi tahu berbagai alat dan media menggambar.
"Waktu masuk SMK jadi tahu ternyata ilustrator ada kertas khusus untuk fine art yang bahannya lebih awet, ternyata ada yang namanya drawing pen yang bentuknya beda sama pulpen biasa," ucap pria yang menghabiskan masa kecil di Palur, Sukoharjo, itu, Kamis (28/10/2024).
Bermodal alat tulis dan kertas, dia lalu belajar bikin ilustrasi secara otodidak.
"Saya coba bikin art sendiri di kertas karena belum mengenal digital. Kalau salah ya dihapus, nggak bisa di-undo," ujar Sony.
Pede dengan ilustrasi yang dibuat, saat kelas 2 SMK, Sony mulai rutin mengunggah karyanya di akun Instagram @sonywicaksana. Karyanya mendapat banyak apresiasi berupa like dan komentar positif. Dia juga mulai dapat orderan ilustrasi.
"(Awal bikin ilustrasi) Mindset-nya bukan gimana caranya dapat cuan, tapi lebih ke saya pengen banget belajar create karya yang bagus," ujar pria yang baru menikah pada Oktober 2024 itu.
Awal Dapat Pesanan Ilustrasi
Sony mengaku sempat bingung saat calon klien pertamanya menanyakan tarif. Dia lalu bertanya ke ilustrator senior dan mendapat sejumlah saran.
"Karena saya baru pertama dan masih pemula, ya sudah nggak perlu tinggi-tinggi dulu buat awalan. Saya ambilnya waktu itu sekitar Rp 250-500 ribuan, itu udah happy banget," ungkap Sony.
Sukses dengan pesanan pertamanya, Sony mulai merasa bahwa ilustrasi bisa dijadikan pekerjaan. Semangatnya semakin terpacu seiring dengan bertambahnya orderan yang dia terima.
Sony saat itu masih menggambar secara manual di kertas. Dia harus bolak-balik ke percetakan usai menyelesaikan ilustrasi pesanan karena belum punya scanner untuk mengubah gambarnya jadi file digital.
Setiba di rumah, file digital dari flashdisk itu dia rapikan dan diwarnai menggunakan software editing foto di laptop. Proses ini memakan waktu cukup lama.
"Waktu itu saya belum punya pen tablet, saya pakainya mouse, jadi (untuk mewarnai) itu pakai pen tool jadi benar-benar satu-satu dan itu hasilnya lama banget," kata Sony.
Dia akhirnya mendapat pen tablet pertamanya pada akhir 2015. Alat menggambar digital itu dia beli menjelang lulus SMK. Alat itu membuatnya makin cepat menyelesaikan ilustrasi.
Putus Kuliah, Fokus Freelance
Setelah lulus SMK, Sony melanjutkan studinya ke Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta jurusan DKV. Hasil menjual jasa ilustrasi dia gunakan untuk membiayai kuliah dan kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Karena merasa perkuliahannya tak sesuai dengan ekspektasi, Sony akhirnya berhenti kuliah pada 2018.
"Saya bilang ke orang tua, pengen fokusnya ke langsung kerja saja. Saya ingin berkarier, belum butuh buat sarjana," ucapnya. Meskipun sempat khawatir, orang tua Sony akhirnya merestui.
Sejak itu Sony fokus menjadi ilustrator freelance. Tak hanya mengerjakan pesanan lokal, dia juga dikenal oleh banyak klien internasional. Sony mengaku lebih senang menggarap pesanan dari luar negeri karena bayarannya lebih tinggi.
"Mereka (klien luar negeri) nggak terlalu banyak nawar dan juga ngasih harganya itu logis, dan juga perbedaan kurs itu yang paling bikin ilustrator ataupun desainer Indonesia tuh happy banget, karena pakainya dollar," jelas Sony.
Banyaknya pesanan dari luar negeri juga memaksa Sony belajar bahasa Inggris lebih dalam. Dia yang awalnya hanya paham ucapan klien kini sudah bisa aktif dalam percakapan.
Selama menjadi freelancer ilustrator, dia banyak melakukan jemput bola untuk mencari klien. Caranya dengan mempertebal portofolio karya dan aktif di berbagai media sosial. Dia juga aktif di platform lain seperti Pinterest, LinkedIn, dan Behance untuk berburu klien.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Tiap tahun saya juga ke Jakarta untuk belajar dan cari koneksi. Kalau cuma diem di rumah, cuma ngandelin karya, itu nggak cukup. Kita harus benar-benar ngebuka diri dan cari koneksi seluas-luasnya," katanya.
Meskipun terbuka dengan semua orang, bukan berarti Sony asal menerima klien. Biasanya dia akan mencari calon klien yang membutuhkan ilustrator dark art sesuai dengan gayanya.
"Misalnya clothing brand itu yang temanya metal-metal, yang gelap-gelap gitu, terus band-band ya yang metal gitu, menyesuaikan marketnya juga," bebernya.
Bikin Studio Arkana Illustration
Sony sadar bahwa seiring bertambahnya umur, tenaga dan waktu dia akan semakin terbatas. Bersama Hieronimus Christian, teman yang dia kenal dari Instagram pada 2019, dia kemudian membuat studio ilustrasinya sendiri.
"Mending bikin studio ilustrasi aja karena aku udah punya baseline banyak dari luar negeri," tutur Sony.
Ide itu mereka wujudkan pada Agustus 2021 dengan nama Arkana Illustration Studio. Studio yang beralamat di Jalan Merbabu Selatan No 14, Nusukan, Banjarsari, Solo, itu kini sudah berstatus PT. Timnya ada 10 orang dengan tugas yang berbeda-beda.
Di studio itu, Hieronimus mengurus di bidang manajerial sebagai CEO dan Sony aktif sebagai art director. Sama-sama nihil di bidang manajemen perusahaan membuat mereka sering bolak-balik ke Jakarta untuk belajar.
Studio ilustrasi yang sudah berjalan tiga tahun ini punya target 5 ribu dolar AS setiap bulannya. Untuk mencapai target itu, studio ini punya rate card di level terendah mulai dari USD 250.
"Ada tiga level, low USD 250, middle USD 300, up USD 500, itu baru starting semua. (Penentuan level ini) Tergantung skala brand dan juga kesulitan. Misal level detailnya itu tinggi banget ya nggak bisa dimasukin di level yang low, kita masukin ke up atau middle. Jadi banyak faktornya," terangnya.
Studio Ilustrasi Arkana, kata Sony, kini banyak mengerjakan pesanan desain dari clothing brand di US dan UK. Tema yang diminta klien kebanyakan soal pop culture seperti superhero Marvel hingga Star Wars.
Sejak awal studionya berdiri, mereka juga punya pelanggan setia dari sebuah acara musik EDM (electronic dance music) di Amerika.
"Di US itu ada event music namanya Insomniac, kalau di Jakarta kayak DWP (Djakarta Warehouse Project), jadi musik EDM gitu tapi di US. Kita langganan tiap tahun bikin art buat mereka. Kita servisnya nggak cuma bikin gambarnya aja tapi kita (juga) bikin motion-nya, animasinya," tuturnya.
Suka Duka Punya Klien Asing
Bertahun-tahun jadi ilustrator, Sony punya banyak cerita tentang dengan profesinya yang selalu diingat, seperti klien yang tiba-tiba menghilang padahal sudah membayar uang muka 50 persen.
"Jadi kliennya nggak bisa dikontak, cuma DP-nya nggak batal, cuma dia ngilang. Kita juga nggak tau dia aktif atau tidak atau seperti apa karena kita kontaknya lewat email," ucap Sony.
Pola kerja Sony memang dari dulu seperti itu, usai deal soal desain dan harga, klien akan membayar uang muka 50 persen untuk proses membuat sketsa. Setelahnya, Sony meminta klien melunasi setengahnya lagi untuk masuk ke tahap line art dan coloring.
Meski kesepakatan harga sudah dibuat di awal, rupanya ada juga klien yang tak sanggup melunasinya. Jika menghadapi kasus ini, Sony akan memberi beberapa opsi.
"Kalau belum dikerjakan dan dia minta cancel, DP (down payment) itu kembali (ke klien) full. Tapi kalau sudah DP, aku tawarkan mau cukup di sketsanya aja aku kirim atau aku hold dulu project-nya, ketika kamu sudah ada uangnya untuk melunasi nanti aku kerjain lagi," ungkapnya.
Sony dan timnya juga pernah kena fraud hingga saat awal merintis studio ilustrasi. Dia bercerita, waktu itu timnya mendapat klien sebuah perusahaan di luar negeri dengan kontrak ribuan dolar.
Setelah pembayaran dilunasi dan pesanan sudah dikirim, tiba-tiba klien itu melapor ke saluran transaksi uang yang digunakan Sony, bahwa studionya melakukan penipuan. Padahal, desain yang digarap studio ilustrasi milik Sony sudah digunakan untuk produk perusahaan itu.
Tak tinggal diam, mereka juga sudah mengirimkan berbagai bukti seperti riwayat e-mail dan chat dengan kliennya di WhatsApp. Namun bukti itu ditolak oleh saluran transaksi tersebut.
"Dengan berat hati uang sekitar USD 1,500 itu hilang," kenang Sony. Sejak itu Arkana Illustration Studio memperketat administrasi mereka dengan selalu membuat perjanjian kontrak tertulis dengan tanda tangan dari kedua belah pihak.
Garap Poster Film Venom Terbaru
Salah satu proyek ilustrasi besar yang dikerjakan Sony hingga saat ini adalah poster Venom: The Last Dance. Dia membeberkan, nilai kontraknya mencapai 3 ribu dolar AS untuk satu ilustrasi yang dibuatnya.
Sony menceritakan, tawaran ini datang langsung dari Sony Pictures Global ke emailnya. Namun karena dia sudah bekerja dalam tim dan namanya juga berada dalam intellectual property studionya, proyek ini dikerjakan bersama timnya di Arkana Illustration Studio.
"(Soal mendapat tawaran membuat poster film Venom) Karena dulu saya pernah di tahun 2018 ikut lomba dari Venom itu bikin art promonya mereka juga dan kebetulan saya menang. Mungkin mereka sudah punya database di situ sih," ujarnya.
Ilustrasi ini dikerjakan Sony dan timnya selama sebulan pada September lalu. Berkat karya ini, Sony menjadi sorotan media. Dalam tiap wawancara, Sony juga selalu bangga untuk memperkenalkan dirinya sebagai seniman Kota Solo.
Dia juga diundang langsung ke pemutaran perdana (premiere) film Venom: The Last Dance di Indonesia, Selasa (22/10/2024) lalu. Rupanya ini bukan kali pertama dia datang ke premiere Venom.
"Pertama waktu saya menang lomba di 2018 itu saya juga ikut premiere Venom, yang ini diundang lagi. (Perasaannya) cukup menyenangkan sih, karena kita udah liat filmnya duluan, orang lain belum, hehe," ujarnya sambil berkelakar.
Momen premiere ini baginya sangat mengesankan. Selain karyanya dipajang di lokasi premiere, nama Sony juga disebut oleh Sony Pictures sebelum film diputar. "Saya juga harus berdiri buat bilang terima kasih," ucap Sony.
Menimba Ilmu Saat Jenuh
Sebagai pekerja seni, Sony juga kerap dilanda lelah dan bosan sebab dunia ilustrasi ini tak lagi sebatas hobi, tapi sudah menjadi pekerjaan. Rutinitas setiap hari kadang membawa dia pada fase art block.
Jika sudah berada di fase ini, biasanya Sony akan menjauh dari gambar dan ilustrasi lalu mengambil rehat sejenak. Pergi jalan-jalan dan ngobrol dengan orang lain biasanya akan membantu dia keluar dari fase ini.
"Art block dari saya sendiri karena kurang referensi aja, jadi saya ngobrol dengan orang lain, tahu perspektif mereka misal ke pelaku industri lain jadi tahu oh perspektif mereka seperti ini. Nambah-nambah pengetahuan baru seperti itu justru malah bikin saya refresh," ungkapnya.
Selain rasa bosan, stereotip sosial juga dia sebut menjadi tantangan tersendiri. Sony tak menampik bahwa pilihannya menjadi ilustrator sempat dipandang sebelah mata. Namun dia tidak ambil pusing dan semakin termotivasi untuk membuktikan bahwa dunia kreatif juga menjanjikan peluang.
"Di era sekarang itu juga bisa loh kerja di industri yang sangat menyenangkan ini, industri kreatif, yang kita bisa fleksibel, menuangkan ide dan kreativitas di sini, dan di sini benar-benar menghasilkan," jelas Sony.
Kini Sony telah membuktikan ucapannya sendiri. Selain karyanya yang sudah diakui dunia internasional, dia juga bisa membeli rumah di Colomadu, Karanganyar, dan membiayai kuliah adiknya.
Artikel ini ditulis Ardian Dwi Kurnia peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.