Tak Punya Teman Belanja di Pasar Pecinan Semarang? Tenang, Ada Mbok Gendhong

Tak Punya Teman Belanja di Pasar Pecinan Semarang? Tenang, Ada Mbok Gendhong

Afzal Nur Iman - detikJateng
Sabtu, 10 Agu 2024 10:11 WIB
Mbok Gendhong di Pasar Gang Baru Pecinan Semarang. Foto diambil Jumat (9/8/2024).
Mbok Gendhong di Pasar Gang Baru Pecinan Semarang. Foto diambil Jumat (9/8/2024). Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng
Semarang -

Warga yang ingin berbelanja dalam jumlah besar di Pasar Pecinan Semarang namun tidak kuat membawa barang belanjaan yang berat tidak perlu bingung. Puluhan Mbok Gendhong yang ada di pasar itu siap menemani.

Tidak hanya membantu membawakan barang belanjaan, Mbok Gendhong juga bisa menjadi guide terbaik untuk mencarikan barang-barang yang dibutuhkan oleh pembeli.

Mbok Gendhong merupakan sebutan bagi penjual jasa membawakan belanjaan pembeli di pasar tradisional khususnya Pasar Gang Baru yang ada di kawasan Pecinan Semarang. Tak hanya membawakan belanja, Mbok Gendhong juga lihai memilih buah atau sayur untuk puannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pekerjaan itu disebut Mbok Gendhong karena pelakunya merupakan ibu-ibu yang biasa membawa wadah bambu dengan cara digendong. Berbeda dengan kuli panggul yang biasa menunggu bongkar muat barang, Mbok Gendhong mengkhususkan diri menemani para pengunjung pasar berbelanja.

Sugimarti (64) bahkan rela setiap hari datang dari rumahnya di Buyaran, Demak, pagi-pagi buta untuk menjadi Mbok Gendhong di Pasar Gang Baru. Rutinitas itu, tetap dia lakoni sejak usianya menginjak 20 tahun.

ADVERTISEMENT

"Dari Buyaran ada sekitar 50 orang di sini," katanya saat ditemui di Pasar Gang Baru, Kecamatan Semarang Tengah, Jumat (9/8/2024).

Dia melakukan pekerjaan itu karena mengikuti ibunya yang lebih dulu menjadi Mbok Gendhong. Ibunya sendiri bisa menjadi Mbok Gendhong karena melihat usahanya sebagai pedagang sayur di Pasar Johar kurang menghasilkan.

"Ibu dulu dagang sayur di Johar tapi modalnya habis, terus saya diajak jadi Mbok Gendhong. Kalau sekarang ibu sudah di rumah aja, udah 3 tahunan di rumah soalnya sudah pikun," jelasnya.

Puluhan tahun menjadi Mbok Gendhong, Sugimarti tak pernah berpikir untuk beralih dengan pekerjaan lain. Menurutnya, hasil dari menjadi Mbok Gendhong cukup lumayan.

Dia memang tak mematok tarif untuk sekali menemani belanja. Namun, biasanya pengunjung akan memberi Rp 15-25 ribu ketika memakai jasa Mbok Gendhong.

Kerja hingga pukul 12.00 WIB, dia bisa membawa pulang Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per hari. Bahkan ada hari-hari khusus di mana penghasilannya melebihi itu.

Beberapa Mbok Gendhong juga telah memiliki pelanggan khusus. Biasanya, yang menjadi pelanggan adalah pemilik restoran yang harus berkeliling dan akan berbelanja dengan jumlah cukup besar.

"Nggak ada yang minta (ditemani) juga pernah, tapi jarang paling sekali dua kali. Kalau gitu ya pulangnya ngutang dulu, pulang pergi kan Rp 25 ribu," katanya.

Jumlah penghasilan yang dinilai lumayan itu juga yang membuat Warsiem (47) ikut-ikutan untuk menjadi Mbok Gendhong. Dia yang berasal dari Desa Karangmojo, Sukoharjo bahkan rela ngekos untuk tinggal di Semarang demi menjadi Mbok Gendhong.

Sudah 10 tahun terakhir ini dirinya menjadi Mbok Gendhong. Pilihan itu diambil karena melihat tetangganya yang kerap membawa uang banyak ketika pulang dari Semarang.

"Di Solo nggak ramai, ramai sini, kalau di sini kan yang belanja Chinese biasanya butuh Mbok Gendhong, kalau di Solo nggak ada," ungkapnya.

10 tahun menjadi Mbok Gendhong, dia mengaku sudah bisa membantu suaminya membangun rumah dan menikahkan kedua anaknya. Kini, dia memilih tetap menjadi Mbok Gendhong karena tak ingin membebani anak-anaknya.

"Anak-anak kan sudah punya keluarga sendiri-sendiri, suami juga cuma buruh di sawah," ujarnya.

Sejarah awal mula Mbok Gendhong baca halaman selanjutnya

Konon Ada Sejak Abad ke-18

Pasar Gang Baru sebenarnya sama dengan pasar tradisional pada umumnya. Lapak-lapak pedagang itu berada di sebuah gang bernama Jalan Gang Baru.

Meski begitu, Pasar Gang Baru merupakan tempat perekonomian penting bagi Pecinan Semarang. Tokoh Pecinan Semarang, Harjanto Halim menyebut pasar itu telah ada sejak Pecinan dipindahkan ke wilayah Kauman dekat Kali Semarang atau sekitar tahun 1740.

"Sejak pecinan dipindah ke wilayah sekarang ini kan menjadi kebutuhan karena (Pecinan) itu kan dijadikan seperti camp, jadi orang Pecinan harus izin untuk keluar masuk," ujarnya melalui sambungan telepon.

Tak hanya orang Tionghoa, pasar itu sudah sejak awal dijadikan lahan penghidupan bagi warga pribumi. Meski tak tahu pasti, Harjanto Halim memperkirakan Mbok Gendhong sudah ada ketika awal pasar itu berdiri.

Mbok Gendhong di Pasar Gang Baru Pecinan Semarang. Foto diambil Jumat (9/8/2024).Mbok Gendhong di Pasar Gang Baru Pecinan Semarang. Foto diambil Jumat (9/8/2024). Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng

"Kalau itu sejak saya kecil sudah ada saya nggak tahu juga sejarahnya gimana tapi memang dari dulu ramai dan masih ramai sampai sekarang, kayaknya nggak berubah," katanya.

Dia juga heran mengapa hanya di Pasar Gang Baru banyak ditemukan Mbok Gendhong. Padahal, menurutnya banyak pasar di Semarang ada pasar lain yang juga ramai dikunjungi etnis Tionghoa.

"Mungkin turun temurun ya saya tahu ada dari Demak, dari Purwodadi, dari Solo juga. Saya belakangan ini baru sadar kalau banyak perantaunya. Ya mungkin sudah tradisi juga ya, sebenarnya yang mirip Pasar Gang Baru itu Pasar Prembaen tapi di situ juga nggak ada Mbok Gendhongnya padahal di sana juga banyak Chinesenya yang belanja," jelasnya.

Meski begitu, dia merasa terbantu dengan adanya Mbok Gendhong di Pasar Gang Baru. Menurutnya, Mbok Gendhong sudah seperti tour guide bagi pembeli di Pasar Gang Baru.

"Karena Mbok Gendhong ini fungsinya nggak cuma gendong, dia juga memberi tahu di mana bahkan kalau saya ditemani beberapa kali dia bisikin beli yang bagus di mana bahkan milihin buahnya atau sayurnya, jadi dia fungsinya juga kayak tour guide," tambahnya.

Halaman 2 dari 2
(ahr/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads