Sebanyak 38 KK saat ini tinggal di bawah kolong bawah Flyover Cakrawala atau Jalan Yos Sudarso, Semarang. Salah satunya adalah Joko Purnomo (49). Joko membeberkan penyebab warga terpaksa tinggal di kolong tersebut sejak tahun 2006. Berikut fakta-fakta kehidupan di kolong Flyover Cakrawala.
Tinggal di Kolong Flyover Sejak 2006
Joko merupakan Ketua Paguyuban Cakrawala, sebuah perkumpulan warga yang tinggal di bawah flyover itu. Dirinya menegaskan baginya tinggal di kolong jembatan bukanlah sebuah pilihan melainkan keterpaksaan.
Joko mengaku, dirinya pernah kena gusur pada 2006. Sejak saat itu, Joko bersama keluarga tinggal terpaksa menempati kolong flyover.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya kami semua tidak mengharapkan tinggal di bawah jembatan. Ini akibatnya karena kita kena gusur tahun 2006," katanya saat ditemui di rumahnya, Jumat (2/8/2024).
![]() |
Tertipu Beli Tanah Wakaf
Joko bercerita bahwa warga-warganya bisa menempati kolong jembatan itu karena mereka bingung mencari tempat tinggal setelah rumahnya di dekat jembatan itu digusur pada tahun 2006. Saat itu, ada ratusan warga yang terkena penggusuran dan tak semuanya mendapat tempat relokasi.
Menurutnya, korban yang tergusur itu juga tak sepenuhnya salah. Mereka disebut tertipu orang yang menjual tanah yang ternyata adalah tanah wakaf.
"Jadi dulu di sana itu tanahnya sudah dikapling-kapling, siapa ya yang nggak mau punya rumah di Semarang nah di situ ada yang nawari karena murah bilangnya bekas tanah garapan. Kebodohan kami itu memang mau beli tanah nggak ada sertifikatnya kok mau," katanya.
Tahun 2001 saat dia membeli tanah itu, dia hanya menghabiskan uang Rp 3 juta. Joko sendiri mau membeli tanah di situ karena melihat lingkungan yang sudah padat penduduk.
Ternyata, 5 tahun kemudian dirinya harus tergusur bersama ratusan orang lain.
Sempat Stres Usai Digusur
Joko menyampaikan, setelah kena gusur warga pun memutuskan tinggal di bawah flyover. Warga membangun tempat tinggal mereka menggunakan bahan seadanya. Penggusuran warga itu, kata Joko sangat membekas.
Bahkan, akibat kejadian itu Joko sempat stres hingga satu bulan lamanya.
"Penggusuran itu membekas banget mohon maaf ini saya ceritain istri saya sampai stres 1 bulan, waktu itu anak-anak saya masih kecil. Ya begitulah perjuangan hidup, sampai sekarang aku menyesal nggak bisa membahagiakan keluarga saya," ujarnya.
![]() |
Trauma Penggusuran Terulang
Lebih lanjut, Jokow menjelaskan sebetulnya ia bukan warga pertama yang menempati kolong jembatan. Usai digusur, dia dan keluarganya sempat tinggal mengontrak karena takut tergusur untuk kedua kalinya.
Namun, beberapa warga kemudian datang mendatanginya, dan meminta dia ikut tinggal di kolong jembatan. Dia diminta mengelola Paguyuban Cakrawala.
"Soalnya di tempat yang digusur itu saya ketua paguyuban juga karena belum ada RT. Nah warga saya meminta saya ke sini buat membenahi di sini buat jadi paguyuban juga akhirnya saya ikut kelola agar di sini menjadi kondusif," katanya.
Sebab, saat itu sedang santer isu warga akan kembali digusur. Warga yang khawatir meminta Joko agar melobi pemerintah setempat agar memberikan waktu untuk mereka.
Joko pun sempat bolak-balik ke pemerintah agar mendapat izin tinggal. Meskipun tak ada izin, Joko bersyukur pemerintah memberikan waktu agar mereka bisa mengumpulkan uang untuk membeli rumah di tempat lain.
"Ya kalau mereka izinkan juga kan salah, makanya sebenarnya ini kita dipantau. Kita kalau udah ada yang keliatan mampu sedikit harus segera pindah," katanya.
Ingin Tempat yang Layak
Meski sudah bisa menikmati tinggal di bawah flyover, Joko tetap ingin agar warganya bisa pindah ke lingkungan yang lebih layak. Dia berharap pemerintah memberikan keringanan dan memberikan akses bagi warganya agar bisa mendapat rumah bersubsidi di Kota Semarang.
"Tolonglah kami dicarikan rumah bersubsidi yang bisa dicicil kalau kami yang mengajukan tetap nggak bisa, di sini pada berani kalau disuruh cicil soalnya di sini pada kerja dan pekerja keras semua. Kami juga ingin memiliki rumah yg layak huni seperti yang lain," bebernya.
Menurutnya, masa depan anak-anak di lingkungan itu juga harus dipikirkan.
"Ini untuk kehidupan anak kami juga, misalnya ni anak saya pacaran ditanya ortu pacarnya tinggal di mana, bilangnya apa dia? Susah, berat mau ngomong," pungkasnya.
Baca juga: Warga Wedi Klaten Ditembak Orang Tak Dikenal |
(cln/apl)